||7|| LIP

3.2K 209 43
                                    

Happy reading and be happy
Semoga suka

Klik 🌟

Ruangan bernuansa putih cokelat itu mendadak hening sejak kedatangan Rio. Dokter itu datang ingin menjemput Femila, yang katanya mau bermalam di rumahnya. Keheningan terjadi saat Femila meminta izin kepada Abi yang juga berada di ruangan itu bersama Felly. Pria itu sama sekali belum bersuara, hanya tatapan datar yang diberikan.

"Ayah, apa boleh aku bermalam di rumah Om Rio?" tanya Femila kedua kalinya.

"Mau kamu bermalam di mana pun, saya tidak peduli! Jadi, jangan membuang waktu hanya untuk meminta izin kepada saya!" bentak Abi.

"Mas!"

"Abi!"

Felly dan Rio sama-sama menyayangkan sikap dan tutur kata pria itu. Selalu seperti itu, dan sama sekali tidak pernah berubah.

"Jaga bicara kamu, Abi!" desis Rio berusaha untuk tidak emosi.

Abi memalingkan wajah, semakin membuat Femila merasakan sakit luar biasa. Gadis itu menunduk kecil, membiarkan air mata jatuh membasahi pipi putihnya.

"Kak Rio, sebaiknya kalian pergi saja. Tolong jaga Femila baik-baik, ya!" Felly meminta Rio untuk segera membawa putrinya pergi. Dia tidak ingin kata-kata yang tidak diinginkan, akan terlontar dari mulut suaminya.

Rio mengangguk pasrah, memeluk sang keponakan keluar dari rumah itu. Dia tak bisa lebih lama melihat Femila yang disakiti secara terang-terangan oleh adiknya. Entah sampai kapan lagi, rasanya Rio tidak sanggup melihat Felly dan Femila merasakan sakit seperti ini terus.

Felly menatap nanar Abi yang memasang wajah tak bersalah sama sekali. Wajah wanita itu berurai air mata, kecewa dengan sikap suaminya yang tak pernah berubah hingga sekarang.

"Sampai kapan, Mas?" lirih Felly terisak.

"Apa maksudmu?"

"Sampai kapan kamu tak menganggap keberadaan aku dan Femila? Aku masih bisa terima jika, keberadaanku yang tak kamu anggap. Namun, untuk putriku aku tak bisa menerimanya lagi."

"Lalu apa mau kamu? Bukankah sebelum kita nikah pun, aku sudah tak menganggap keberadaan kalian? Kamu sendiri yang memaksakan pernikahan ini terjadi. Lalu sekarang kamu mau menyalahkan aku, iya?!" seru Abi tajam.

Felly menggeleng. "Hati kamu terbuat dari apa, sih, Mas? Kenapa kamu bisa sekeji itu?" Felly nyaris putus asa. Ditatapnya sendu wajah Abi yang bersikap santai.

"Aku sudah pernah bilang sama kamu, kalau sampai kapan pun aku hanya mau Rica dan anak kami! Selain dari itu, aku sama sekali tidak menginginkannya!"

Wanita itu luruh di atas lantai dingin. Lagi dan lagi Rica menjadi alasan semuanya. Waktu yang berputar hebat, sama sekali tidak membuat Abi mampu melupakan mantan istrinya itu. Padahal Rica sendiri yang telah meninggalkan pria itu.

"Harusnya kamu sadar jika Rica sudah tak ingin bersama kamu! Jadi, untuk apa kamu masih berharap kepada wanita yang sudah meninggalkan kamu dan membawa anak kalian!" teriak Felly frustrasi.

Abi menatap tajam Felly. Seandainya, dia tak lumpuh, wanita itu akan mendapatkan tamparan darinya.

"Jaga ucapan kamu! Aku tahu Rica pasti akan kembali dan kami akan berkumpul bersama lagi!"

"Itu tidak akan terjadi!" Felly semakin berteriak, dilemparkannya barang-barang yang berada di ruangan itu hingga hancur.

Abi yang melihat itu mendengkus kasar. Memilih mendorong kursi rodanya dan menjauh pergi.

Love Is Pain (Sekuel Hopeless)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang