||30|| LIP

2.1K 169 10
                                    

Happy Reading and Be Happy

Langkahnya terasa berat menelusuri jalanan yang terlihat sepi. Langit kelabu seolah sedang mengejeknya yang saat ini sedang hancur-hancurnya. Tatapan mata gadis itu kosong, seolah sudah tak ada lagi harapan dalam hidupnya.

Kisah cinta yang diharakan bisa seabadi Romeo dan Juliet nyatanya hanya bualan semata. Dia berhenti sejenak, menunduk memandang aspal dengan air mata yang perlahan jatuh. Sakit sekali rasanya berada di posisi yang sama sekali tak tahu apa-apa, tetapi harus menerima kenyataan pahit yang ada. Miris memang, tetapi semua yang telah terjadi berhasil menampar telak khayalan Femila untuk memiliki Daniel selamanya. Itu hanya sebuah mimpi.

"Argh!" Dia berteriak keras, ingin melampiaskan kekecewaan yang begitu mendera. Jika tahu akhirnya akan seperti ini, Femila takkan mau bertemu Daniel atau mencintai pemuda itu. Dia pasti akan menyayangi Daniel sebagai kakak tirinya bukan seorang kekasih seperti saat ini. Namun, apa? Dia sendiri pun hanya korban dari semua ini permasalahan yang telah terjadi. Lantas, salah jika dia tetap ingin mempertahankan Daniel.

"Aku sangat mencintaimu, Daniel. Bagaimana bisa dengan gampangnya, kamu meninggalkan aku sendiri?" lirih Femila.

Dia melanjutkan langkah. Entah ke mana pun kakinya berjalan, dia sudah tak punya tujuan untuk kembali. Femila kira setelah tahu jika bundanya menggugat cerai ayahnya, maka dia dan Daniel akan begitu lancar kembali membina hubungan mereka, nyatanya pemuda itu telah menjalin kasih dengan orang lain.

"Pengkhianat!"

Femila sudah tak tahu arah lagi. Namun, sebuah bangunan besar itu menarik perhatian. Langkahnya mendekat, hatinya tiba-tiba merasa bersalah. Dia hampir saja lupa dengan kekuatan imannya. Gadis itu masuk ke gereja yang pintunya terbuka. Memang tidak ada jadwal pelayanan ibadah, tetapi biarkan dirinya untuk sesaat merenungi semua pergumulan yang sedang dialaminya.

Di depan altar, tepat pada bangku pertama tangisannya kembali jatuh. Femila sadar dia telah melupakan Tuhan belakangan ini karena permasalah yang dihadapi. Padahal, kehidupan yang dijalaninya adalah rencana sang pencipta. Sudah seharusnya dia menyerahkan semua yang terjadi kepada Tuhan, bukan merana sendirian tak tahu arah seperti sekarang.

*****

Daniel sibuk mengemudikan mobil dengan pandangan ke depan. Sudah hampir satu jam mereka mencari keberadaan Femila. Sebenarnya, bisa saja Daniel langsung mengantarkan Nelsya ke rumah Felly, tetapi pemuda itu bingung harus menjelaskan bagaimana jika calon istrinya itu bertanya lebih. Sehingga, sejak tadi keduanya hanya berputar-putar tanpa tahu arah.

"Kita ke mana lagi, ya? Aku sudah lelah sekali," ucap Nelsya pelan.

"Mau makan dulu?" tawar Daniel.

Nelsya menggeleng. "Aku enggak bisa makan kalau pikiranku sedang kalut seperti ini."

Daniel terdiam sebelum melanjutkan, "Bagaimana kalau kita em ... ke rumahnya saja."

Nelsya menatap cepat. "Aku tak tahu di mana rumahnya. Seandainya, aku tahu sudah sejak tadi kita ke sana."

"Em ... kenalannya?" Daniel tiba-tiba dirundung kegugupan.

"Aku juga enggak tahu. Nomornya tidak aktif sejak semalam. Oh Tuhan ... aku tidak ingin Femila kenapa-kenapa."

Daniel melirik Nelsya yang memasang wajah sendu. Pemuda itu pun berinisiatif melewati jalan menuju rumah Femila. Besar harapannya, dia menemukan gadis itu dengan cepat. Karena sungguh dia pun cemas seperti Nelsya. Namun, mendadak pandangannya terfokus pada seorang gadis di depan gereja. Mobilnya tiba-tiba berhenti, membuat Nelsya terkejut.

Love Is Pain (Sekuel Hopeless)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang