||14|| LIP

2.7K 217 13
                                    


Happy Reading And Be Happy
Semoga Suka

Meja makan berukuran besar itu sangat ramai malam ini. Kedatangan Rio, Sintia, dan Naya. Lalu ada lagi Siska dan suaminya Jo, yang selama ini menetap di luar kota sehingga baru bisa sekarang berkumpul bersama Abi dan keluarganya. Adik bungsu Rio dan Abi itu tidak memiliki keturunan hingga sekarang. Membuat Abi sering kali merasa prihatin dengan nasib Siska.

"Mobil yang keluar tadi siapa?" tanya Rio yang sejak tadi sudah merasa penasaran.

"Temannya aku, Om," jawab Femila.

"Cowok apa cewek?" Sintia ikut menimpali, bermaksud menggoda Femila yang pipinya sudah merona malu.

"Em ... cowok, Tante."

"Pacarnya Kak Mila pasti," ejek Naya.

Femila merona malu. Gadis itu segera menggeleng, lalu berusaha fokus kembali dengan makanannya.

"Kamu sudah punya pacar?"

Femila mendongak, mendengar pertanyaan dari Siska. Wajah aunty-nya itu terlihat datar memandangnya. Sudah bukan hal baru jika Siska sendiri tak terlalu menyukai Femila. Alasannya karena perbuatan Felly di masa lalu.

"Belum, Aunty."

"Bagus itu. Harusnya kamu belajar dan segera wisuda. Urusan asmara bukan hal penting yang harus kamu prioritaskan," ungkap Siska.

"Selama ini Femila memang sibuk belajar dan mengurus kegiatannya di gereja. Dia tidak pernah sibuk dengan urusan asmara." Felly ikut bersuara. Dia hanya ingin membela Femila dari Siska. Adik iparnya itu masih begitu membencinya meskipun waktu sudah berlalu. Padahal, Felly kerap kali meminta maaf, tetapi Siska tetap menjaga jarak dengannya. Apalagi dengan putrinya, Femila.

"Semoga saja seperti itu," ucap Siska santai.

Jo, pria yang duduk di samping Siska menghela napas gusar. Dia berusaha menenangkan istrinya untuk tidak membuat kekacauan di meja makan. Sebenarnya, Jo menolak ajakan makan malam ini, tetapi karena Rio terus memaksa mau tak mau dia membawa Siska untuk ikut bersamanya. Dia hanya ingin mengantisipasi saja agar Siska tak berulah. Mengingat istrinya belum bisa menerima kenyataan jika Felly telah menikah dengan kakaknya. Rupanya, Siska sungguh menyesal dan mengharapkan Rica untuk kembali.

Femila menunduk saja. Bukan hal baru baginya, jika adik dari ayahnya itu pun kurang menyukai dirinya.

"Sudah! Kenapa suasana jadi menegang seperti ini?" Sintia berusaha mencairkan suasana. Dia tidak ingin acara kumpul keluarga mereka jadi berantakan.

*****

Dalam kehidupan selalu ada yang namanya kehilangan. Rasa kehilangan yang paling besar ketika orang-orang terdekatmu dipanggil pulang menghadap Tuhan. Begitu yang dirasakan keluarga Daniel.

Tepat lima belas menit yang lalu, Ferdinan telah berpulang. Serangan jantung yang dialami pria tua itu, membuat Rica beserta lainnya sungguh merasa kehilangan. Kedukaan meliputi keluarga itu.

Brankar di mana tubuh kaku Ferdinan berbaring, tak lepas dari pelukan serta tangisan Anin dan Rica. Vania pun menangis, tetapi Fadli berusaha menenangkannya. Mengingat istrinya sedang hamil tua saat ini.

Berbeda dengan Daniel yang berusaha kuat walaupun sebenarnya dia pun ikut  terpukul. Sosok kakeknya itu adalah panutan. Orang yang paling berjasa dalam kehidupannya selain Rica. Sosok yang selalu mengajarkan arti dari perjuangan serta kerja keras sebagai seorang pria tangguh.

"Daniel," panggil Fadli.

Pemuda itu menoleh. Menatap pamannya yang tersenyum tipis.

"Bibi Vania mana?"

"Sudah pulang terlebih dahulu. Kondisi Bibi kamu pun sempat drop tadi. Beberapa kali mengeluh perutnya terasa keram," jawab Fadli.

"Sekarang bagaimana?"

"Paman akan mengurus sesuatu dulu."

Kening Daniel berkerut. "Sesuatu apa?"

"Rahasia," ucap Fadli misterius.

Daniel ingin bertanya, tetapi rasanya bukan saat yang tepat.

Fadli menghela napas berat. "Jasad Papa sedang dimandikan sekarang dan tinggal dikemas dalam peti, sebelum dibawa pulang."

"Baiklah. Aku bakalan pulang sama Mom dan Nenek," ucap Daniel diangguki Fadli.

Daniel membawa Anin dan Rica untuk pulang bersamanya. Tiba di rumah, sudah banyak keluarga yang menanti kedatangan mereka. Tinggal menunggu jasad Ferdinan yang akan diantar oleh ambulans.

Rica menatap kosong jendela kamarnya. Semenjak pulang dari rumah sakit, wanita itu mengurung diri di kamar. Dia tidak sanggup kehilangan papanya. Bagaimana pun, Ferdinan itu cinta pertamanya yang tidak akan lekang oleh waktu.

Padahal beberapa hari lalu, kondisi Ferdinan baik-baik saja. Keduanya masih sempat bercengkrama setelah pembicaraan mengenai masa lalu itu. Tidak ada tanda-tanda, jika Ferdinan akan pergi untuk selamanya. Semua terasa begitu tiba-tiba dan meninggalkan luka yang paling dalam pastinya.

"Mom."

Daniel muncul dari pintu. Panggilannya sama sekali tak membuat lamunan Rica buyar. Pemuda berkaus hitam itu, mendekati Rica, dan memeluknya.

"Jangan nangis lagi. Kita harus kuat, Mom. Masih ada Nenek yang harus kita jaga," ungkap Daniel parau.

Rica kembali terisak tanpa berbicara. Lidahnya kelu hanya untuk berbicara sepatah katapun.

"Mom, kita keluar, ya! Sudah banyak keluarga yang menunggu kita. Sebentar lagi jasad Kakeka akan tiba."

Tidak ada jawaban, membuat Daniel menghela napas gusar. Dia tidak bisa memaksa, dan memutuskan untuk keluar agar menemani Anin serta Vania.

Keluar dari kamar, langkah pemuda itu terhenti. Notifikasi pesan masuk dari Femila. Ternyata sudah banyak pesan masuk serta panggilan dari Femila. Saking sibuknya, dia hampir saja melupakan gadis itu.

Semua pesan masuk menanyakan kabar kakeknya. Daniel mengetikkan balasan, menyampaikan jika Ferdinan sudah berpulang. Tak lama kembali pesan masuk dari Femila.

[Turut berdukacita, Daniel. Kapan dimakamkan? Aku akan meluangkan waktu untuk ikut misa serta penguburannya]

[Besok pagi jam 10.00. Aku menunggu]

Setelahnya, dia menyimpan ponsel dan melangkah menuruni tangga. Bunyi ambulans sudah memasuki pekarangan rumahnya. Di undakan terakhir, bulir air matanya jatuh. Melihat Anin yang menangis sambil berteriak ketika peti Ferdinan dibawa masuk.

Lalu yang lebih menyakitkan, saat Rica juga berlari keluar dari kamar dan memeluk peti kakeknya. Sungguh, Daniel tak tega menyaksikan semuanya.

*****

Fadli segera menghubungi beberapa orang kepercayaannya, agar menutupi berita kematian Ferdinan. Dia hanya tidak ingin keluarga mantan suami Rica, tahu jika adik dan keponakannya sudah di Jakarta.

Pria itu bukannya tidak tahu kalau Rio sedang mencari tahu keberadaan Daniel. Setiap pergerakan Rica atau Daniel, tak lepas dari mata-mata yang diperintahkannya.

"Lakukan yang terbaik! Aku tidak ingin kehidupan adikku kembali diusik!" perintah Fadli sebelum memutuskan panggilan.

Calon ayah itu segera menuju ruang jenazah. Berusaha sekuat tenaga dia untuk tidak menangis, tetapi Fadli tak sekuat itu. Dia sungguh kehilangan Ferdinan, dan sekarang saatnya dia mengambil alih tugas yang sempat dititipkan Ferdinan beberapa hari lalu.

Pria tua itu, meminta agar Fadli ikut menjaga Rica dan Daniel. Sebuah tanggung jawab besar yang sedang dipikulnya saat ini.

"Maaf, Pak. Jenasah Pak Ferdinan siap diantar." Seorang perawat pria datang menghampiri Fadli.

"Baiklah. Kami akan menunggu di rumah."

Bagaimana dengan part ini, guys?

Love Is Pain (Sekuel Hopeless)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang