6. MALAM DAN DUKA
🦋🌨
Langit malam terlihat begitu muram. Dan sepertinya, hal itu adalah salah satu pertanda kalau hujan lebat akan segera turun untuk membasahi bumi yang belakangan ini terasa sangat panas. Suara jarum jam yang berdetak didalam ruangan bernuansa putih itu terdengar seperti tengah menghitung mundur sebuah peristiwa yang tidak lama lagi akan segera terjadi.
Sebuah senyuman yang terlukis dikedua sudut bibirnya berpadu dengan raut bahagia yang tidak sedikitpun luntur dari wajah pucatnya. Masih bersama dengan perasaan senang yang terasa begitu hangat didalam dadanya, ia pun menolehkan kepala ke arah sebuah sofa yang terletak disudut ruangan. Kedua orang remaja laki-laki yang berada diatasnya berhasil menciptakan seulas senyuman yang terlihat lebih lebar lagi daripada sebelumnya. Karena menurut Wijaya, kehadiran mereka layaknya sebuah obat penawar rasa sakit yang selama ini dirinya rasakan dan simpan seorang diri.
Pada awalnya, ia merasa begitu marah kepada semesta karena telah membuatnya merasakan kembali rasa sakit ini sehingga membuat perusahaan yang sudah dirinya kembangkan sedari dulu tidak dapat menghadiri sebuah pertemuan penting di Jepang yang memang tidak bisa diwakilkan oleh siapapun itu, terkecuali dirinya sendiri. Tetapi pada akhirnya, setelah selama seminggu penuh ia menghabiskan waktunya diatas brankar rumah sakit, Wijaya berhasil menemukan sebuah pemahaman baru tentang betapa pentingnya mensyukuri setiap hal, bahkan hal terkecil sekalipun yang terjadi didalam kehidupannya. Dan sepertinya, kejadian yang saat ini sedang menimpanya layak untuk dijadikan sebagai contoh sederhana dari pernyataan tersebut. Iya, dirinya memang telah gagal untuk berangkat ke negeri dengan julukan negeri matahari terbit tersebut. Tetapi, karena kegagalannya itulah Wijaya dapat menikmati kembali setiap moment yang selalu membuat perasaannya menghangat karena ada Langit beserta Angkasa yang hadir disetiap harinya.
Seperti malam ini.
"Angkasa," Wijaya memanggil nama salah satu putranya dengan suara yang terdengar sedikit serak. "Hari ini Papa udah makan malam belum, ya?" Tanyanya dengan wajah yang tampak seolah tengah berpikir sehingga membuat Angkasa yang pada malam itu sedang merevisi tugas Geografi miliknya seketika langsung berhenti dan memandang pria itu lengkap dengan kerutan didahinya.
"Terus yang tadi di suapin sama Angkasa itu siapa?" Pemuda itu balik bertanya sembari mencoba menahan amarahnya. Dalam hati, ia menjadi bertanya-tanya, apakah Papanya memang sudah benar-benar pikun ataukah hanya berpura-pura saja supaya ada topik pembahasan diantara mereka? Mengingat seringnya pria paruh baya itu yang terus saja menanyakan tentang hal semacam ini.
Mendengar jawaban tersebut dari putra bungsunya, tentu saja membuat Wijaya melebarkan senyuman karenanya. "Ya, Papa." Jawabnya. "Justru karena kamu yang nyuapin, makanya perut Papa langsung minta diisi lagi."
"Papa mau makan apa?"
Wijaya menatap cowok itu dengan sepasang mata yang mengerling jahil. "Tapi kayaknya, Papa mau makan kalau Abang kamu yang nyuapin." Ujarnya yang kalau tadi berhasil membuat Angkasa mengerutkan dahinya, kali ini ucapan yang keluar dari mulut pria itu berhasil menyentil emosi yang kerap kali keluar kalau ada seseorang yang berkata demikian.
Dengan cepat, cowok itu langsung saja membantahnya. "Aku nggak punya Abang." Tandasnya sembari melirik ke ujung sofa sebelah kiri, dimana terdapat seseorang yang sejak dari kedatangannya ke tempat ini, terus saja memejamkan sepasang matanya bersama dengan deru napas yang terdengar begitu tenang seperti layaknya orang yang tengah tertidur. Walaupun tanpa Angkasa ketahui, sebenarnya Langit tidak benar-benar sedang terlelap. Cowok itu berlaku demikian hanya karena tidak ingin kalau Papa maupun Angkasa melihat raut kebingungan yang akhir-akhir ini, sering nampak di wajahnya bahkan tanpa dirinya sadari.

KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHLIGHT
Roman pour Adolescents"i'm stuck in my darkness, 'cause you're my flashlight." Hope u all like this story Thank you, x