8. LEMBARAN BARU

13 1 0
                                        

8. LEMBARAN BARU

🦋🌨

Sehari setelah kematian Papanya, dan juga setelah menimbang keputusan ini berkali-kali, akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk kembali bersekolah seperti biasanya. Lagi pula, kalau Langit terus mengurung diri didalam rumah dengan pikiran yang seluruhnya tertuju kepada Papa, ia rasa hal tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang baik untuk dilakukan. Mengingat betapa sesak dan terlukanya ia tatkala setiap kenangan antara dirinya bersama Papa yang selalu saja bermunculan tanpa pernah ia minta, membuat Langit berpikir kalau dengan ada atau tidaknya Wijaya, kehidupan akan terus berjalan dan dunia pun akan terus melangkah maju tanpa pernah mau mempedulikan dirinya yang masih saja merangkak dibelakang.

Dengan gaya santai andalannya, ia terus saja melangkah tanpa menghiraukan tatapan aneh yang pada pagi hari ini sudah dirinya dapatkan dari seorang satpam sekolah. Pria tua itu bahkan sampai harus mengucek sepasang matanya selama beberapa kali demi untuk memberi keyakinan kepada dirinya sendiri kalau seorang siswa yang baru saja memasuki area sekolah adalah Langit Xavier, si troublemaker yang biasanya selalu datang ketika waktu sudah berdempetan dengan bunyi bel masuk.

"Nah, gitu dong! Aura gantengnya, 'kan jadi semakin kelihatan kalau taat sama tata tertib!" Teriak Pak Kardun dengan sangat nyaring yang tentu saja sampai ke sepasang telinga milik Langit mengingat sepinya suasana sekolah pada pagi hari ini. Dan seperti biasa, cowok itu enggan memberikan pedulinya kepada segala sesuatu yang menurutnya sangat tidak penting.

Setibanya didalam kelas, ia segera saja melepas tas ransel beserta kacamata berlensa hitam yang dikenakan olehnya. Cowok itu menjatuhkan diri tepat diatas sebuah kursi kebesarannya dengan niat akan segera terlelap karena rasa kantuk yang belum sempat dirinya tuntaskan selama ia tidur dirumah. Langit mengacak rambut hitam tebalnya sebanyak dua kali lalu menyandarkan punggung tegapnya kepada sandaran kursi dengan kedua lengan yang terletak dibawah dada. Sepasang matanya sudah terlihat memejam dengan sangat tenang. Tetapi sialnya, zona nyaman yang tengah dirasakannya itu hanya dapat berlangsung selama delapan menit saja. Dan hal tersebut disebabkan karena adanya sebuah cahaya yang tiba-tiba saja terasa menyorot di seluruh bagian wajahnya. Ia mengerjap bersamaan dengan terdengarnya suara khas jepretan yang berasal dari kamera ponsel.

Dengan sigap, Langit langsung saja menegakkan badannya dan menatap lurus ke arah seseorang yang menurutnya sangat keterlaluan.

Menyadari kalau tindakan yang sudah dilakukannya itu terbilang sangat ceroboh, akhirnya gadis itu hanya bisa terdiam bersama dengan deru napas di dadanya yang terasa begitu memburu. Gadis itu ingin segera pergi meninggalkan ruangan ini, tetapi rasanya seperti tertahan oleh tatapan Langit yang menghujam dirinya tanpa ampun.

Cowok itu terlihat sangat marah. "Berani lo?" Tajamnya yang seketika membuat Leriga tersentak karenanya. Melihat reaksi lambat yang ditunjukkan oleh gadis menyebalkan tersebut, membuat Langit langsung saja menyambar sebuah ponsel berwarna putih yang masih berada di dalam genggaman si pemiliknya.

Beruntungnya, ponsel itu sama sekali tidak terkunci sehingga hal tersebut memudahkan Langit untuk membuka album foto, lalu menghapus semua foto berisi dirinya yang ternyata tidak hanya ada satu, melainkan ada puluhan gambar yang dipotret oleh gadis itu secara diam-diam. Misalnya saja ada foto dirinya sewaktu tengah berjalan di koridor bersama dengan para sahabatnya, foto sewaktu ia tengah memakan sesuatu di kantin, atau foto sewaktu dirinya tengah memainkan bola basket di tengah lapangan.

Ekspresi yang tergambar pada raut wajah gadis itu terlihat begitu menyedihkan sehingga membuat Langit ingin sekali menertawakannya dengan sejenis tawa paling menyebalkan supaya setidaknya, Leriga mengetahui kalau apa yang telah diperbuatnya sangatlah menjijikan. "Lo sakit jiwa." Katanya dengan sungguh-sungguh sebelum pada akhirnya, terdengar suara sebuah benda yang beradu langsung dengan papan tulis, lalu mendarat begitu saja di atas lantai kelas yang dingin.

FLASHLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang