22. DIA, SI MANUSIA KERAS KEPALA

11 1 0
                                    

22. DIA, SI MANUSIA KERAS KEPALA

🦋🌨

Seluruh rangkaian acara telah selesai dilaksanakan. Ruangan yang pada awalnya terlihat begitu ramai, kini mulai terasa sepi dengan beberapa lampunya yang sudah dipadamkan sedari tadi.

Awan hitam terlihat menggumpal di atas cakrawala, menyisakan gelap serta pekat yang membuat ketiga orang itu bergegas masuk ke dalam sebuah mobil. Serena menghembuskan napas lelahnya, lalu menoleh ke arah belakang untuk memastikan bahwa keadaan Bintang memang baik-baik saja. Ia memilih untuk tidak melontarkan pertanyaan apa pun, sebab Serena paham bahwa sebenarnya, keadaan gadis itu sangat jauh dari kata baik. Bahkan, sebelumnya ia sempat berpikiran bahwa Bintang tidak mungkin sekuat ini. Akan tetapi, pemikirannya itu langsung sirna seiring dengan ketegaran yang dimiliki oleh putri majikannya tersebut.

Sepanjang acara berlangsung, Bintang sama sekali tidak menunjukkan kesedihannya barang sedikit pun. Tanpa banyak protes, gadis itu hanya menganggukkan kepala sebagai responnya atas setiap perkataan yang diucapkan oleh Danureja maupun Letta.

Mobil melaju dengan kecepatan normal, membelah padatnya jalanan Ibu Kota pada malam hari ini. Tanpa sadar, tetes demi tetes air hujan sudah terlihat berjatuhan. Semakin lama, debitnya berubah menjadi semakin cepat bersama dengan riuh suaranya yang membuat Langit berdesis dalam diam. Di sampingnya, terdapat Serena yang sedari tadi terlihat memperhatikan setiap pergerakan yang dilakukan oleh cowok itu. Sedetik kemudian, Serena mengalihkan pandangannya.

"Langit," Walaupun merasa sedikit canggung, tetapi ia tetap memberanikan diri untuk memanggil nama si pengemudi. "Ini hujannya semakin deras," Gadis itu melanjutkan perkataannya, sementara Langit tetap fokus menyetir.

"Bagaimana kalau kita berhenti dulu? Di dekat sini ada kedai kopi yang enak banget, tahu!" Usul Serena dengan sepasang mata yang terlihat sangat berbinar. "Lagipula berbahaya juga kalau mengemudi di tengah hujan deras kayak gini." Sambungnya seraya menolehkan kepala ke arah Bintang yang saat ini sudah mengubah posisinya menjadi bersandar dengan sepasang mata yang juga tengah menatapnya.

Walaupun sering kali dibuat merasa kesal oleh gadis menyebalkan itu, tetapi entah mengapa, ia selalu dibuat merasa kasihan dalam waktu yang bersamaan. Menurutnya, ini adalah kesempatan yang pas supaya Bintang dapat merasakan bagaimana nikmatnya menyesap kopi di malam nan dingin seperti ini, ditambah dengan rintik-rintik air hujan yang menjadi latar suaranya.

"Boleh, 'kan?" Serena bertanya kepada Bintang bersama dengan seulas senyuman yang dibuat lebih lebar lagi daripada sebelumnya. "Tapi kalau kamu nggak mau—"

"Boleh."

Mendengar jawaban tersebut, tentu saja Serena langsung dibuat begitu kegirangan karenanya. Bintang yang menyaksikan hal itu hanya dapat menatapnya bersama dengan sebelah ujung bibir yang terasa berkedut. Dalam hati, gadis itu memahami bahwa selama ini, yang diinginkan oleh Serena adalah kebebasan. Oleh karenanya, ia tidak mungkin menolak.

Sementara itu, Langit masih dibuat tidak percaya tentang persetujuan yang diberikan oleh Bintang. Perkiraan yang sempat ia pikirkan menjadi berbanding terbalik dengan keadaan yang sebenarnya, sebab tanpa disangka, gadis itu malah mengiyakan tawaran dari Serena untuk berhenti dulu di sebuah kedai kopi.

Sebagai seorang pegawai yang tidak mempunyai kendali atas apa pun, selama itu tidak membahayakan keselamatan seseorang yang dipercayakan kepadanya, lantas Langit pun hanya bisa mengikuti apa maunya. Ia menoleh kepada Serena, "Masih jauh?" Tanyanya yang langsung dijawab dengan sebuah gelengan keras dari gadis di sampingnya.

Dua menit kemudian, Serena kembali berseru, "Nah, itu kedainya!"

• • •

FLASHLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang