04√

917 44 0
                                    

Happy reading√

•••

Mobil Vino memasuki parkiran depan gedung tinggi. Ia parkir kan, lalu keluar dari dalam. Ke gantengan Vino tetap saja masih sama.

Pegawai wanita saat melihat Vino, seketika berlomba-lomba caper padanya.

"Pagi pak Vino," sapa Lauren tersenyum hangat.

Vino hanya mengangguk, lalu berjalan masuk ke dalam gedung meninggalkan Lauren sendirian di parkiran.

"Kasihan sekali kamu, Ren! Di acuhkan!" sindir Gia. Tertawa.

"Sial!" umpat Lauren.

"Selamat pagi tuan Vino," sapa Bagas, yang di kenal sebagai kaki kanan Vino.

"Pagi," sapa baliknya, lalu menaiki lift menuju ruangan pribadinya.

Setelah kepergian Vino, Lauren dan Gia mendekati Bagas. Mereka bertanya. "Gas, apa benar pak Vino sudah menikah?"

"Aku tidak tahu," balas Bagas berlalu pergi dari hadapan mereka.

"Cari tau aja," usul Gia, yang memang dikatakan sahabat Lauren. Mereka berdua memang terkadang licik dan juga jahat, apapun yang ia suka, akan di rebut dari orang lain.

Sialnya Vino malah mempekerjakan mereka, karena belum tahu kalau mereka menyukainya.

Vino membuka knop pintu, lalu ia tutup kembali dan mendekati mejanya. Vino menghembuskan napas lelah, akhir-akhir ini ia merasakan sesuatu yang mengganjal.

Pria itu duduk di kursi, membuka laptop dan mengecek file-file lainnya.

_

Umay mengayuh kursi rodanya ke depan teras, tersenyum manis pada sekitar kebun bunga yang cantik.

Kebun bunga tersebut dari hadiah yang di kasih oleh suaminya waktu itu. Vino sengaja membuatkan kebun bunga untuk Umay.

"Selamat pagi nyonya," sapa wanita baya yang baru saja sampai.

Umay melirik. "Pagi. Mbok yang akan kerja di sini ya?" tanya Umay.

Wanita itu mengangguk. "Iya nyonya, saya sendiri."

"Mbok boleh bekerja sekarang," balas Umay padanya sedikit tersenyum.

"Terima kasih nyonya, saya izin masuk," pamitnya bergegas masuk mengerjakan lainnya.

Umay terbengong, entah memikirkan apa. Matanya tertuju pada kedua kakinya yang selalu di tompang oleh kursi roda.

"Allah, apa ini takdirku untuk selalu menggunakan kursi roda?" lirih Umay sedih.

"Aku ingin sekali berjalan," sambungnya mengusap kakinya. Umay terisak, bayang-bayang yang di katakan dokter teringat kembali.

"Kaki pasien lumpuh permanen, kemungkinan tidak ada kesempatan. Namun jika yang maha kuasa berkehendak, akan ada kesempatan bisa berjalan."

Setelah dokter mengatakan itu, Umay meraung-raung meratapi nasibnya.

Kejadian yang sudah lama, selalu saja teringat. Kadang membuat Umay sedih.

"Nyonya, nyonya."

Suara mbok Inem terdengar samar. "Nyonya kenapa melamun?"

"Ahh tidak, Mbok," elak Umay sambil menghapus air matanya.

"Mau di buatin makanan apa nya?" tanya Inem menatapnya.

"Salad buah aja, Mbok," jawab Umay.

Mbok Inem kemudian masuk kembali, membuatkan makanan untuk Umay.

_

Vino menutup laptopnya kembali, ia batu saja selesai mengerjakan berkas-berkas yang akan di buat meeting lusa nanti.

Pria tersebut bersender di belakang, merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Matanya melirik ponsel, mengingat istrinya di rumah sedang apa ia sekarang?

Ada rasa menggeletik di tubuhnya yang seakan mendorong dirinya untuk menelpon keadaannya.

Tangan Vino merambat, meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Lalu menyalakannya, muncul lah wallpaper mereka berdua yang tengah memakai baju pengantin kemarin.

Bibirnya yang sedikit tebal melebar, ia tersenyum tipis. Vino mencari nomor Umay yang ia simpan. Setelah menemukannya, langsung saja ia tekan.

Tuutt! Tuttt!

["....."]

"Kamu lagi apa?"

["......."]

"Mbok sudah datang kan ke rumah?" tanyanya. Vino takut kalau Umay sendirian di rumah, di tambah Umay memakai kursi roda.

["......."]

"Syukur dehh, aku tutup dulu telponnya. Kemungkinan aku balik malam, kamu jaga diri baik-baik," titah Vino dari sini.

["......."]

Tuuuut!

"Cerewet!" dumel Umay setelah mematikan telpon dari Vino.

Vino menaruh ponselnya kembali, lalu beranjak dari tempat duduknya. Pandangannya ke arah luar jendela.

"Umay ... Umay," gumam Vino bergeleng-geleng.

"Permisi, pak!" sapa Lauren tiba-tiba mengagetkan Vino.

Pria berjas itu berdesis, menatap ke belakang. "Ada apa?" tanyanya datar.

"Berkasnya harus di tanda tangani, pak," jawab Lauren menaruh maps berwarna hijau di meja, kemudian menatap Vino dengan senyum manisnya.

"Kamu boleh keluar," usir Vino secara langsung, ia tak mau berlama-lama ada wanita di ruangannya.

Lauren sedikit jengkel, kenapa bosnya susah sekali di luluhkan. "Bapak gak makan siang?"

"Tidak."

"Saya---"

"Keluar!" bentak Vino sembari menunjuk ke arah pintu, mengusir Lauren secara kasar.

Lauren cepat-cepat pergi dari hadapan Vino.

Vino melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya, lalu memasuki lift untuk turun ke bawah.

Setelah lift di buka, Vino keluar dan kembali berjalan menuju parkiran.

"Bapak mau kemana?" tanya Bagas, saat tak sengaja melihat Vino keluar dari perusahaan.

"Saya mau makan siang, tolong urus semuanya. Nanti saya balik lagi," jawab Vino.

"Baik, pak!"

•••

Tbc

Vino [TAMAT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang