Bab 30

17.7K 929 3
                                    

"Sudah malam Neng, diluar dingin." Ira menolehkan kepalanya saat jaket yang dibawa Bi Mirah menyelimuti tubuhnya yang diterpa angin malam.

Senyuman indah menghiasi wajah cantik Ira, dia kembali menatap bintang-bintang yang bertaburan menyuruhnya untuk menyampaikan rindu pada sang pujaan hati.

Dengan dibantu Bi Mirah berdiri, Ira masuk kedalam rumahnya yang sudah dia tempati selama kurang lebih 8bulan ini. Perut yang semakin hari membesar membuat Ira sedikit sulit melakukan aktivasinya.

Bi Mirah membantu Ira untuk berbaring, sudah 3 bulan suaminya tak pulang, bahkan nomornya tak bisa dihubungi. Hanya notif dari bank yang memberitahukan kalau uang bulan Ira telat masuk kedalam Atmnya.

Sepi? tentu saja. Sangat bodoh menjadi Ira yang menunggu Sean, berharap laki-laki itu pulang dengan lembaran baru bersamanya, Namun ternyata sudah tiga bulan juga Sean tak ada kabar.

Bahkan kandungan Ira sudah menginjak 6bulan, saat wanita hamil ingin dekat dengan suaminya. Ira hanya bisa berdoa pada tuhannya agar menyampaikan rasa rindunya.
Dia percaya Allah maha membulak balikan hati hambanya, dan semoga doanya dijawab.

***

Pagi yang cerah dengan sinar matahari yang sangat menghangatkan tubuh.
Ira berjalan santai ditemani Bi Mirah yang engos-engosan padahal mereka tidak lari.

"Ya ampun Neng, dasar udah tua. Jalan 10meter aja cape banget." Ira terkekeh mendengar gerutuan Bi Mirah. Dia pun duduk dikursi yang ada disana, Ira membuka botol air minumnya.

Matanya menatap orang-orang yang berlalu lalang, bahkan ada yang membawa anaknya.
Bolehkan Ira cemburu melihat itu, melihat keharmonisan keluarganya. Ira mengusap perut buncitnya.

Dia percaya kalau suaminya akan pulang dan berkumpul bersama dengannya dan juga anak-anaknya.
Bukankah kekuatan doa lebih kuat dari apapun!

***

"Hoekkk hoekkkk" Kepala Sean berdenyut nyeri, setiap pagi dia harus muntah tanpa mengeluarkan apapun dari perutnya.

Sudah beberapa kali dia diperiksa tapi tak kunjung sembuh, bahkan semua dokter heran karna Sean sehat wal afiat tapi beginilah setiap pagi.
Sean melangkah dengan lemas keranjang tidurnya, kepalanya terasa berputar-putar dan akan sembuh setelah siang harinya.

Aneh! Itu yang Sean rasakan, bahkan Sean membawa manga muda saat bekerja untuk menghilangkan mualnya.
Padahal disini cukup sulit mencari manga muda, tidak seperti di Indonesia.
Sean ber selonjoran dikasurnya, dia menscrol hpnya mencari sesuatu yang menggugah seleranya agar mualnya cepat hilang.

Masakan padang yang cukup terkenal dengan olahan santai dan bernuansa pedas itu membuat Sean meneguk ludahnya.
Dia mengusap perutnya yang tiba-tiba keroncongan.

"Apa saya pulang saja ya.?" Tanyanya pada diri sendiri.

Namun detik itu juga Sean langsung murung, bayangan Amira terus saja menemaninya padahal Sean berusaha untuk ikhlas.

Diusaplah wajah cantik yang menjadi wallpaper hpnya, senyuman yang begitu manis kini sudah tak bisa lagi Sean lihat.
Senyum yang selalu membuatnya candu.
Senyum yang Sean harapkan akan menemaninya sampai tua, apa orang lain tau apa yang dirinya rasakan.

Tentu tidak, mereka mungkin akan menilai Sean egois. Karna pergi meninggalkan Ira setelah kehilangan Amira.
Dia hanya ingin menenangkan dirinya sebelum benar-benar memulai lembaran baru dengan Ira.
Tapi apakah bisa?
Tuhan, kenapa kau beri cobaan seberat ini padaku. Pundakku tak sanggup menahannya, hatiku tak sekuat itu.

"Ira, maafkan saya. Saya janji akan memulai lembaran baru dengan kamu, tapi tidak sekarang. Tolong bersabar, bersabar menunggu saya."

***

"Bi, bibi." Teriak Ira memanggil Bi Mirah.

"Iya Neng." Sahutnya yang masuk dari halaman luar.

"Bi, Ira pengen ketoprak." Ucap Ira memelas sambil mengusap perut buncitnya.

"Aduh aden aden teh mau ketoprak,hm" Bi Mirah ikut mengusap perut buncit Ira. Tak mau menunggu, Bi Mirah langsung mengajak mang Damar mencari ketoprak untuk nyonyannya.

Ira bersyukur memiliki pembantu yang baik seperti Bi Mirah, bahkan Ira sering merepotkannya. Apalagi semenjak hamil, Ira dua kali lipat merepotkan Bi Mirah.

Ira pun duduk disofa ruang tamu, rumah besar ini begitu sepi namun tak henti-hentinya Ira merayu tuhan untuk meluluhkan hati suaminya agar pulang.

"Aku Rindu Mas, Kamu lagi apa sekarang." Senyuman terbit diwajah cantiknya.

Tangan mulusnya mengusap perutnya yang ditendang oleh janin-janinnya yang sangat aktif.

"Apa kalian juga kangen sama Ayah?" Tanya Ira pada anak didalam perutnya.

Duk..

Ira terkekeh melihat respon anaknya.

"Sama Bunda juga kangen, kalian harus sabar ya."

"Ayah lagi cari Nafkah untuk masa depan kita."
Tuhanku cinta dia, ku ingin bersamanya.

Ku ingin habiskan nafasnya ini berdua dengannya, Jangan rubah takdirku.
Satukanlah hatiku dengan hatinya..

"Kakak" Teriak Mala melengking membuat Ira langsung menoleh.

"Ibu kira gak ada orang, taunya lagi melamun." Tuti membawa rantang yang entah tah tau isinya, dan mungkin seperti biasa. Makanan paporit Ira.

"Jangan kebanyakan ngelamun Ra, nanti anak kamu ikut-ikutan. Mending makan nih, ibu buatkan rendang kesukaan kamu." Tuti membuka rantang yang berisi rendang itu.

"Makasih ya Bu."

"Makasih buat apa Ra, ibu yang berterima kasih sama kamu. Berkat kamu hidup kita gak susah lagi, bapak sudah mulai bisa jalan normal lagi. Kita jadi punya usaha dirumah meskipun ruko sembako tapi alhamdulillah rame."

Ira mendengar dengan senang ucapan Ibunya, mungkin sebentar lagi Ira yang akan merasakan jadi seorang ibu.

"Ka, dede bayinya gerak." Mala yang sengaja diam didepan perut Ira begitu antusias melihat perut Ira yang bergerak karna tendangan jagoan kecil diperut kakanya.

"Mungkin tau ada tantenya." Usap Ira pada rambut Mala.

"Bu, Mala mau nginep disini ya."

"Ngak, kamu suka bikin ulah. Nanti kakak kamu pusing."

"Ngak Bi, janji."

"Iya bu, lagian Ira sendiri bosen. Biarin aja Mala nginep."

Tuti mendesah pelan, dia hanya mengangguk tanda setuju.
Tangan keriput Tuti kini menyuapi Ira, Tiba-tiba air matanya terjun begitu saja.

"Ibu kenapa?" Tanya Ira.

"Gapapa Nak, ibu hanya senang sebentar lagi akan punya cucu." Tuti mengusap wajahnya yang basah dan kembali menyuapi Ira.

Ira hanya menatap wajah yang sudah mulai berkeriput itu, Ira tau bukan itu yang membuat sang Ibu menangis.
Meskipun seorang anak tak memberitahukan masalah hidupnya, nyatanya batin seorang ibu itu selalu tau.

"Ra, jaga kehormatan kamu, jaga kehormatan suami kamu juga. Selagi dia masih memberimu nafkah, dia masih suamimu."

Ira menghambur memeluk ibunya, Tuti membalas pelukan anaknya. Dia juga merasakan sakit bagaimana Ira menjalani hidupnya dengan tabah, bahkan menantunya harus keluar negri saat Ira sedang hamil melewati bagaimana anak-anaknya berkembang dirahim Ira.

"Sean, Laki-laki baik. Dia hanya butuh waktu untuk menerima kepergian Amira dan membuka lembaran baru dengan kamu."

"Jangan putus berdoa, meminta hatinya pada yang pencipta. Dia yang punya segalanya. Jangan pergi meninggalkannya sebelum dia sendiri yang minta kamu pergi."

"Ibu tak membela Sean, tapi ibu mengerti bagaimana rasanya kehilangan. Tambahkan lagi rasa sabar kamu, banyakan lagi doamu. Bukankah jika Allah sudah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin."

***

Istri Kedua  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang