Happy Reading
.
Bangunan dua tingkat itu terlihat tampak megah. Cat nya berwarna putih yang dipadupadankan dengan warna hijau muda yang menenangkan. Begitu aku melangkah melewati pagarnya, aku langsung disambut dengan halaman yang sangat luas dengan rumput hijau yang memenuhi halaman, serta ada beberapa pohon dan tanaman penghijau lainnya.
Susana sejuk dan damai aku rasakan saat berjalan di lorong yang membelah taman. Dan dari kejauhan, di bawah pohon yang rindang, ku melihat sebuah kegiatan para pasien yang sedang melakukan salah-satu kegiatan rehab-sepertinya tengah melukis pemandangan yang ada di sekitar-bersama beberapa para suster yang menemani.
Aku berjalan memasuki koridor pertama, dan duduk di kursi tunggu dekat meja resepsionis, menunggu tanteku yang menjadi salah-satu doker di rumah sakit jiwa ini.
Seraya menunggu, pandanganku tidak pernah diam memangamati sekitar. Mengamati para aktifitas suster yang berlalu lalang, dan juga para pasien di sini yang tengah melakukan kegiatan atau hanya sekedar duduk, dan berkumpul di taman menikmati suasana di sore hari-yang tentunya masih dalam pengawasan suster.
Dari pengamatanku yang beberapa kali pernah berkunjung ke sini untuk menemui tanteku, aku melihat para pasien yang aku lihat di taman atau aku temui tengah duduk di sekitar koridor, mereka semua terlihat tampak baik-baik saja. Terlihat tampak sehat, suka bercerita, bercanda dan tertawa seperti orang normal pada umumnya. Bahkan, dulu ketika aku tengah duduk di kursi koridor ini-tengah menunggu tanteku-aku dihampiri oleh salah-satu diantara mereka, diajak mengobrol yang berhasil membuatku meneguk ludah kaget.
Aku diajak ngobrol, ditanyai banyak hal, dan meskipun kadang obrolannya itu selalu tidak nyambung atau bahkan berhasil membuatku meringis tidak mengerti. Namun, satu kesimpulan yang bisa aku ambil setelah itu, ternyata para pasien di sini tidak terlalu menyeramkan seperti apa yang aku bayangangkan. Mereka semua terlihat rapi, bersih, dan sangat terawat. Sewaktu-waktu mereka mungkin bisa saja membahayakan diri mereka sendiri ataupun orang lain, namun hal itu hanya bisa terjadi kalau mereka tengah kambuh.
"Tika?"
Aku mengerjap dari lamunanku saat mendengar suara Tante Karin memanggil namaku.
"Udah lama? Duh, maaf ya buat kamu nunggu seperti ini."
Aku tersenyum menatap tante Karin. "Santai, Tan. Gak usah pasang wajah begitu."
Tante Karin menyengir lebar. "Kamu ke sini sama siapa? Mama kamu bilang katanya kamu gak bawa motor ke sekolah."
"Diantar sama teman," jawabku cepat, berharap tante Karin tidak bertanya lebih lanjut lagi siapa nama temannya, karena kalau aku bilang diantar sama Kelvin teman laki-laki, aku gak bisa membayangkan bakalan serempong apa responnya nanti.
"Yaudah, kunci rumah tantenya dibawa, kan?"
Aku menghela napas lega saat pertanyaan itu keluar.
"Ya menurut Tante tujuan aku datang ke sini buat apa, kalau bukan ngasih kunci rumah kepada pemiliknya yang ceroboh."
Tante Karin hanya terkekeh pelan. "Yaudah ke ruangan Rante dulu, yuk. Tante juga mau nitip ini sama ibu kamu."
Aku hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah tante Karin menuju ruangannya. Ruangan tante Karin berada di sayap kiri bangunan ini, di paling ujung yang di mana dalam perjalanannya aku harus melewati ruangan yang kata tanteku itu adalah ruangan isolasi. Di mana, setiap kali aku melewati ruangan ini, yang selalu aku dengar adalah suara tangisan, tawa yang memilukan, atau jeritan yang memekakan. Tante Karin bilang, ruangan isolasi ini emang dikhususkan untuk pasien yang kondisinya belum stabil. Jadi tidak heran, kalau suara-suara seperti itu sering terdengar di dalam ruangannya.
Dan tepat setelah sampai di depan ruangan tante Karin, aku selalu berhenti, tertegun sampai beberapa detik, menatap pintu ruangan yang ada di sebelah ruangan tante Karin. Itu adalah ruangan salah-satu pasien VIP. Kali ini, aku tertegun cukup lama memandangi ruangan itu karena pintunya sedikit terbuka, jadi ada celah untuk aku bisa melihat ke dalamnya.
"Tika?"
Aku mengerjap. "Ke-kenapa, Tan?"
"Kenapa bengong? Buruan masuk."
Aku mengangguk, meski sempat menoleh ke dalam ruangan itu.
Aku duduk di sofa yang ada di dalam ruangan, sementara Tante Karin melangkah ke arah mejanya untuk mengambil sesuatu.
"Tante nitip ini sama Ibu kamu, terus kamu juga tolong bilang sama Ibu kamu ... Bla... Bla... Bla... " Tante Karin berujar panjang lebar menitipkan pesan, sementara pikiran aku berkelana ke ruangan VIP yang ada di sebelah.
"Tika, yang Tante ucapkan barusan ngerti, kan?"
Lagi-lagi aku mengerjap, seraya meneguk ludah kasar. Aku tidak nangkap pesan apa yang tante Karin ucapkan, tapi karena tidak ingin memperpanjang, aku langsung mengangguk dan mengiyakan. "Iya aku ngerti, nanti aku sampaikan kepada ibu."
"Oke, jangan sampai lupa, ya. Yaudah, kalau begitu Tante pergi dulu, masih banyak kerjaan. Kamu juga pulangnya hati-hati, ya."
Tante Karin melangkah ke luar, dan aku menyusul. Namun, di saat langkah tanteku sudah jauh di depan sana, aku malah terdiam memandangi celah pintu ruangan VIP. Melihat seorang pasien perempuan paruh baya yang kini tengah duduk di kursi roda, dan detemani oleh dua orang suster.
Namanya, Sri Mutia.
Yang setiap kali aku datang ke sini, aku selalu melihat tante Sri dalam keadaan yang tidak baik. Seperti mengamuk, dan menangis histeris. Bahkan, waktu terakhir aku datang ke sini dua bulan yang lalu, aku mendengar kabar kalau tante Sri hendak melakukan bunuh diri, tapi untungnya berhasil dicegah.
Dan untuk hari ini, di balik celah pintu, aku melihat tante Sri tengah duduk di kursi roda, dengan kondisi yang menurutku masih sangat mengkhawatirkan.
Berbeda dengan pasien yang aku temui di taman tadi, keadaan tante Sri beneran terlihat tidak sehat. Beliau hanya duduk di kursi roda, tatapannya lurus ke arah dinding yang ada di depannya, yang kalau aku lihat dari arah samping tatapannya itu terlihat kosong. Kedua tangannya terlipat, tengah menggendong sebuah boneka bayi, dengan tangan kanan yang mengelus pelan kepala boneka itu, dan mulutnya bergumam pelan seperti tengah menyanyikan lagu nina bobo.
Lama aku terdiam mengamati keadaan tante Sri yang seperti itu, dengan berbagai macam pertanyaan yang mulai bermunculan di dalam kepalaku.
Dan pertanyaan yang paling kuat adalah, apa penyebab tante Sri mengalami hal seperti itu?
Dalam jeritan dan tangisannya yang beberapa kali aku dengar, aku selalu mendengar tante Sri berteriak mengucapkan kata 'ANAKKU.'
"DI MANA ANAKKU? DI MANA DIA?"
"Kenapa kalian semua jahat? Kenapa kalian membuang anakku?"
"Salah aku apa? KATAKAN! SALAH AKU APA PADA KALIAN?"
Ucapan seperti itu yang selalu aku dengar serta disertai suara tangis yang sangat memilukan. Membuatku selalu berhasil meneguk ludah kasar, dan perasaan empati yang sangat besar selalu datang tanpa bisa aku hilangkan.
Aku tidak mengerti. Aku yang bukan siapa-siapa ini, kenapa bisa sangat menginginkan kesembuhan tante Sri, atau minimal, melihat keadaan tante Sri seperti para pasien yang aku lihat di taman tadi, tidak seperti sekarang ini, yang selalu membuatku meringis sedih.
~ Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atika Story's (Selesai)
Novela JuvenilKetika kepercayaan hilang, oleh penghianatan. Ketika penyesalan datang diiringi kehilangan. . . . "Karena gue takut jatuh cinta sama lo. Gue takut salah dalam mengartikan sikap baik lo terhadap gue. Walau rasa itu belum tumbuh, tapi yang namany...