Rasanya, ingin sekali aku menertawakan diriku sendiri saat ini. Dulu setiap kali muncul pertanyaan mengenai hubungan aku dan Kelvin, aku pasti akan langsung menjawab dengan yakinnya kalau hubungan kami berdua hanya sebatas sahabat yang tidak akan mungkin tumbuh sebuah perasaan suka. Aku yang dengan percaya dirinya berkata pada diriku sendiri, kalau aku tidak mungkin mencintai seorang Kelvin Candra, yang begitu tengil juga ganjen terhadap banyak perempuan.
Aku yang selalu ngotot meyakinkan teman-temanku saat mereka mulai berkata mengenai perasaan Kelvin, “ Cuma sahabat, tapi ko perhatian banget sih. Kek nya si Kelvin suka deh sama elo, Tik.”
Maka dengan tegasnya aku akan berkata,
"Nggak mungkin lah. Lo gatau aja dia orangnya kaya gimana.”
Atau ...."Dia emang kaya gitu orangnya, suka menggombal sana-sini dan ngumbar perhatian ke setiap cewek. Apalagi kalau cewek cantik."
Juga ...
"Dih, gue bukan tipe si Kelvin banget kali,” seruku seraya terkekeh geli.
Dan, mungkin iya. Semua ucapanku waktu itu benar semua.
Kelvin gak mungkin menyukaiku.
Dan aku bukanlah tipe seorang Kelvin Candra.
Tapi dibandingkan dengan dulu saat aku mengatakan itu semua, kenapa sekarang saat mengingatnya hatiku merasa sakit.
Mengingat tentang ucapanku dan tahu kalau itu semua benar, rasanya begitu sesak luar biasa. Apalagi saat pikiranku kembali mengingat bagaimana kejadian tadi malam.
Setelah melihat pemandangan yang begitu menyakitkan, aku langsung lari ke luar, menghentikan taxi yang kebetulan lewat. Selama di perjalanan, aku benar-benar sudah tidak bisa menahan rasa sesak itu, perutku rasanya seperti dililit, dan dadaku terasa seperti dicengkeram, aku menangis dalam diam, mengabaikan sopir taxi yang diam-diam melirik ke belakang. Emosiku rasanya ingin meledak, aku ingin menumpahkan segalanya, kekesalan dan rasa sesak yang ku rasakan. Aku ingin teriak sekencang-kencangnya, tapi aku masih sadar, ada batasan yang tidak boleh aku langgar. Aku tidak bisa melakukan hal itu di dalam taxi yang sedang aku tumpangi, jadi yang bisa aku lakukan adalah menggigit bibir bawahku dalam-dalam agar suara isak tangisku tak terdengar.
Aku terluka meski tak ada bekas luka. Aku kecewa ntah karena apa. Dan aku ingin marah ntah kepada siapa.
Ini. Ini yang tidak pernah aku sukai dari jatuh cinta adalah harus merasakan sakit dan kecewa yang luar biasa. Apalagi sekarang rasa itu tumbuh di tengah-tengah persahabatan yang tak pernah aku sangka.
Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini?
Aku tidak bisa menyalahkannya. Tidak bisa memarahinya, dan berkata kalau yang dia lakukan itu jahat.
Tidak. Bukan dia yang jahat, tapi aku yang terlalu banyak berharap.
Karena dari awal juga cowok itu hanya menganggapku sebagai sahabat dan aku malah bersikap berlebihan, memakai perasaan, dan melayang saat diperhatikan.
Jadi, akulah yang salah dalam hal ini. Ayahku pernah bilang ...
“ ... Jatuh cinta tidak pernah salah karena itu adalah fitrah manusia, tapi bagaimana cara kita menyikapinya itu yang terkadang membuatnya jadi salah ...”
Dan ya, aku sepertinya memang sudah salah langkah. Aku tidak bijak dalam menyikapi cinta yang tumbuh saat masih remaja. Aku yang memupuknya, membuat rasa itu semakin tumbuh.
Juga benar apa yang diucapkan oleh tanteku semalam, kalau laki-laki dan perempuan memang tidak akan pernah murni dalam persahabatan karena satu pihak akan menyukai pihak lainnya. Tapi ... kenapa pihak yang jatuh cinta itu harus aku? Aku seperti mendapat karma oleh rasa percaya diriku sendiri. Dulu, aku juga sering mendengar kata-kata yang seperti itu, tapi aku selalu mengabaikannya karena aku pikir itu hanyalah omong kosong, tapi sekarang aku sadar, kalau sebuah nasihat ‘lebih baik mencegah daripada mengobati’ itu memang harus aku tanamkan dalam diri, karena nyatanya hatiku memang tidak sekuat itu, nyatanya hatiku begitu rapuh, mudah luluh, mudah melayang, mudah terbawa perasaan, dan akhirnya terluka karena dipatahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atika Story's (Selesai)
Ficção AdolescenteKetika kepercayaan hilang, oleh penghianatan. Ketika penyesalan datang diiringi kehilangan. . . . "Karena gue takut jatuh cinta sama lo. Gue takut salah dalam mengartikan sikap baik lo terhadap gue. Walau rasa itu belum tumbuh, tapi yang namany...