Kembali pada tempat nan gelap dan hampa ini. Entah di dalam atau luar dari ruangan sampai kini pun tidak ada yang tahu, pun cahaya sorot tak lagi ada. Selain setitik putih nun jauh di hadapan sana seakan menanti untuk didekati, mempertunjukkan betapa besar sebenarnya titik tersebut hingga bersinar dan kian bersinar terang menguasai keseluruhan tempat nan gelap ini berada.
Samar-samar pendengaran menangkap akan jenis suara, sangat tak asing dan sangat teratur di setiap detikannya. Tik tik dan tik, terus saja demikian. Yang mana suara itu pula sukses menggerakkan sepasang netra terpejam ini, mengerjap-ngerjap kemudian untuk secara perlahan mulai terbuka dan terbuka dengan beratnya. Mendapati akan suatu ruangan berventilasi dengan dinding terhiasi sudah oleh beragam lukisan oriental serta kaligrafi, dicahayai pula oleh lampu listrik berbentuk obor. Memperjelas akan bagaimana keseluruhan ruangan ini dipenuhi akan rak-rak buku menjulang, atau mungkin akan lebih tepat jika dikatakan catatan-catatan yang mengisi rak-rak tersebut.
"Aku kembali."
Sebelah pipi yang menempel pada meja kayu panjang dari tengah ruangan luas ini pun dibangunkannya, kembali mengedarkan pandangan untuk memastikan lebih pasti lagi jikalau memanglah benar apa yang dilihat dan saksikan kini adalah benar adanya, bukan sekadar mimpi apalagi khayalan belaka. Yana mana edaran tersebut terhentikan, tepat saat menangkap sosok wanita membenamkan muka dengan kedua tangannya pada meja.
"Xue Jing ... Xue Jing, bangunlah," panggilnya, tapi tak ada reaksi yang menunjukkan jikalau wanita ini telah sadar. Lantas, apa mungkin memanglah belum sadar? Ataukah tidak mampu sadar? Tapi kenapa dan bagaimana bisa hanya satu di antara mereka berdua yang berhasil pulang?
Tak mengherankan kalau segala pikiran buruk mulai berdatangan, yang mana sejadinya pula ditepis oleh He Ting saat itu juga. Mengharuskan ia memanggil kembali, menyentuh bahkan menggerak-gerakkan pundak novelis ini dengan harapan besar. Namun, nihil. Membangunkan He Ting dari duduknya sembari rasa panik mulai menyerang, tak menyangka akan seperti ini hasilnya setelah kembali pulang. Tidak mungkin perjalanan mistis itu mengharuskan satu di antara mereka berdua untuk melakukan suatu pembayaran, bukan?
"Bangun ... aku sudah bangun."
"K-kau ...." Napas berderu, seakan baru saja menyelesaikan larian jarak jauh. "Mengangetkanku saja, kupikir kau masih belum bangun. Syukurlah ...." Kembali mendudukkan diri kala di mana Xue Jing menyudahi sesi membenamkan mukanya, berhadapan dengan He Ting yang telah hampir menormalkan kembali napasnya. "Kau baik-baik saja?"
Mengangguk-angguk, senyuman pun Xue Jing tampilkan. Hanya saja sepasang netra tidaklah demikian, terlingkupi cairan bening yang siap meluruh kapan saja. Ataukah barangkali telah sedari tadi cairan bening itu telah meluruh? Kala lihatlah bagaimana hidung dan pipi wanita ini memberikan petunjuk jelas, memerah.
"Sekarang semua sudah aman, dan kita juga sudah kembali." Meskipun hati He Ting pun sama kacaunya, sekacau keinginan yang teramat menginginkan atau bahkan atas dasar kesadaran pikirannya. Entahlah, yang pasti tanpa mengatakan apa pun lagi, ia mendekap sudah Xue Jing dalam pelukan hangat yang mampu diberikan, mengelus-ngelus lembut kepala Xue Jing yang berakhir tenggelam dalam tangisan. "Tidak apa-apa, semua sudah berlalu. Masa-masa kelam itu telah dilalui dan diakhiri dengan sangat baik. Tidak ada penyesalan."
Xue Jing pun menyeka air matanya, melepaskan diri dari pelukan He Ting. Mungkin tersadar jika tak seharusnya bersikap seperti ini pada pria yang belum lama dikenalnya. Apalagi dalam ruangan penyimpanan Museum Huanjing ini, bagaimana jika ada yang melihat dan mulai berpikiran yang tidak-tidak, bukan? Meskipun memang benar jalinan kehidupan lalu mereka sangatlah dekat dan kental. Namun, tetap saja kehidupan sekarang berbeda dari kehidupan yang lalu.
"Maaf ... maaf jika aku lancang."
"Tidak apa-apa, terima kasih sudah berusaha menenangkanku." Mengingat ini bukan yang pertama kali, kala Xue Jing menyeka kembali sisa air mata yang ada sebelum mendapati akan bagaimana He Ting menyodorkan sapu tangan. Tatkala Xue Jing dibuat ragu untuk menerima atau tidak. Keraguan yang sukses pula membawa keduanya saling bertukar pandang, semacam ada suatu energi yang mengikat, tak mengizinkan mereka beralih ke lain hal. Dan itu entah bagaimana malah membuat He Ting, cucu dari pemilik Museum Huanjing ini mulai memberanikan diri meraih pun menyelipkan rambut Xue Jing yang mematung pada daun telinganya.
Bahkan suara ketukan demi ketukan pintu yang ada tak lagi mampu menyadarkan mereka. Sampai di mana seseorang yang mengetuk tersebut pun memilih untuk masuk, kebingungan pula harus bagaimana bereaksi kala menyaksikan momen manis di antara pria dan wanita lajang ini. Namun, mulutnya sudah terlanjur memanggil 'Tuan' barusan, dan jujur saja ia menyesali itu. Ingin mundur dan berpura-pura seolah tak menyaksikan apa-apa, bukankah sudah terlambat? "Ma-maaf, a-aku kira kau sudah sendiri di sini, ka-kalian ... lanjutkan saja, lanjutkan saja," ucapnya terkekeh canggung, menggaruk-ngaruk kepalanya yang yakinlah tidak gatal.
Sementara Xue Jing sendiri bergegas mengambil sapu tangan, mengalihkan wajah ke arah lain pun tanpa ragu mencari-cari kesibukan. Membuka-buka kembali buku catatan kuno yang ada didekatnya, selembar demi selembar sebelum akhirnya menemukan nama 'Hui Yan' tertera di dalamnya.
"Ada apa kau mencariku?"
"It-itu, Tuan Zhang sudah kembali, dia memintamu untuk menemuinya segera di ruangan kerjanya," jawabnya, dan He Ting mengangguk-angguk paham. "Kalau begitu aku pergi dulu, Tuan. Tidak akan mengganggu kalian." Bergegas membawa sepasang tungkai menjauh, tapi He Ting seketika menghentikan. Meskipun pekerja pria ini tak begitu paham, tapi ia tetap menghadapkan diri pada atasannya.
"Apa tidak ada yang sibuk mencariku? Tidakkah kalian penasaran ke mana aku menghilang selama ini?"
"Tuan, apa maksudmu menghilang? Aku baru saja kembali setelah makan siang, bisa dikatakan ...." Mengarahkan pandangan pada jam dinding. "Terakhir kali aku bertemu denganmu itu sekitar sejam lalu."
"Se-sejam? Kau bilang sejam lalu?"
"Hmmm, ada apa, Tuan? Kau belum makan siang?"
Padahal aku telah melewati berbulan-bulan lamanya di sana, tapi di sini malah .... Tersadarkan dari pikiran, pekerja pria yang memanggilnya ini pun tampak kebingungan akan kenapa atasannya malah bertingkah aneh. Namun, He Ting malah hanya berucap, "kau kembalilah bekerja." Yang mana menurut sudah bawahannya ini, meninggalkan kembali kedua orang yang dilanda kebingungan.
Tatkala Xue Jing mengarahkan sudah layar ponsel menyala miliknya ini pada He Ting. "Tanggal dan hari yang sama. Dengan kata lain, waktu benarlah hanya berlalu sejam saja." Dijatuhkan sudah pandangan pada catatan kuno yang mengantarkan mereka ke dunia masa lalu nan penuh petualangan itu. Setidaknya merasa beruntung waktu hanya berlalu sesaat, tidak perlu bagi keluarga merasa khawatir atau apa pun. Terlebih, wajah tidaklah masuk ke dalam daftar pencarian orang hilang.
"Aku akan bicara dengan kakekku mengenai Desa Weiji," ucap He Ting, menyadarkan. Menyadarkan akan bagaimana sekarang menjadi giliran mereka untuk sibuk. "Jika kakek bersedia mengusut dan menggali tempat itu ... apa kau mau ikut ke sana? Wanjiang," ajaknya, kala di mana Xue Jing terdiam, tapi sorot dari sepasang netra cukup menjawab ajakan yang diajukan barusan. "Baik, tunggu kabar dariku."
Xue Jing mengangguk, kembali pula mereka saling bertukar pandang. Kala keterdiaman ikut serta, pun embusan angin yang masuk entah dari mana mulai dirasa menerpa, terutama pada buku catatan kuno berusia 500 tahun yang terbuka tersebut. Untuk kemudian tertutup sudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Village : Secrets Of Past Life (END)
FantasiaAmazing cover by @hayylaaa Kehidupan masa lalu masih belumlah berakhir. Malah kini menghampiri dalam wujud mimpi demi mimpi, menyampaikan pesan. Yang mana mereka, orang-orang yang saling terikat benang merah pada akhirnya dipertemukan kembali hanya...