Epilog

221 22 155
                                    

Pintu kaca terdorong, lonceng kecil yang menggantung seketika berdenting akan sentuhan yang didapatkan. Tampak seorang pria dan wanita dewasa masuk, ditemani seorang gadis kecil berusia sekitar 5 tahun menggandeng masing-masing tangan dari mereka berdua orang dewasa ini. Mendapati pula akan sejumlah keberadaan orang-orang menempati kursi dari meja yang telah disediakan, sibuk akan urusan yang entah apa itu sembari ditemani makanan dan minuman dalam aneka warna dan aroma pastinya.

Lihatlah pula bagaimana pemandangan di luar sana terpampang, meskipun benar pandangan dari sepasang netra telah dibatasi oleh jendela kaca. Namun, luasnya lautan dengan air biru nan bersih masihlah dengan jelas terlihat. Bahkan deburan ombak yang menghantam pesisir ataupun bebatuan terdengar cukuplah jelas, biar kata alunan musik merdu nan lembut memenuhi indra pendengaran. Yang mana selain perut kenyang, sepasang netra pun dimanjakan oleh pemandangan.

Tak mengherankan kalau kursi dan meja pada pinggiran jendela akan lebih banyak diminati, tak terkecuali bagi mereka yang baru saja bergabung ini. Setidaknya masih ada meja kosong meskipun pada pojokan, dan itu pas untuk mereka yang berjumlah tiga orang. Seakan sengaja dipersiapkan untuk mereka.

Ataukah mungkin memang benar dipersiapkan demi mereka?

Entahlah apa itu, lagian tidak mungkin harus mengetahui segala hal, bukan? Tatkala ada hal yang jauh lebih baik untuk diperhatikan, karena memanglah menarik begitu banyak pasang mata pengunjung yang ada. Akan tetapi, apa yang menjadi pusat dari perhatian orang-orang ini justru tampak tak begitu peduli ... atau memang tak begitu paham akan situasi dan kondisi dikarenakan ia memanglah masih terlalu kecil untuk mampu merasa bangga akan hal itu.

Katakan saja ia yang merupakan pusat perhatian orang-orang ini tak lain adalah seorang bocah berponi tebal, berpipi tembam dengan sepasang mata teramat jernih untuk menenggelamkan siapa pun ke dalam lautan pesonanya yang asyik sekali bermain bola karet merah pada kursi di mana ia terduduk bersama seorang wanita di sebelahnya yang haruslah ibu si bocah ini.

"Makanlah dulu, BaoBao. Berhentilah bermain untuk menebarkan pesona imutmu itu."

Si bocah yang dipanggil BaoBao pun menggeleng. "Papa, aku akan menunggunya." Kembali memainkan bola, bahkan melemparkan senyuman pada orang-orang yang memerhatikannya, kian menyipitkan sepasang netra yang dimiliki.

"Putramu sungguh tampan dan menggemaskan, Penulis Li."

Sebagai seorang ibu yang mendengarkan hal tersebut, tentu saja akan senang, bukan? Atau setidaknya mengucapkan terima kasih. Namun, belum sempat mengatakan sepatah kata pun. Kehadiran seseorang yang membawa nampan berisi makanan dan minuman menyela sudah. "Tentu saja, itu karena dia putraku." Meletakkan di meja, pria yang tak lain adalah He Ting ini serta merta mengacak-ngacak poni putranya dengan begitulah gemas.

"Sungguh keluarga idaman. Baiklah, aku tidak akan mengganggu waktu luang kalian."

Berpaling sudah wanita paruh baya ini, sibuk kembali menyantap makanannya. Hanya saja, ke mana BaoBao? Kursi yang ditempati telah kosong, yang ada hanyalah seruan dari bocah tersebut yang terus saja memanggil 'bolaku dan bolaku jangan kabur'. Pun Xue Jing tentu saja mengalihkan pandangan ke asal seruan, mendapati sang putranya ini memanglah benar telah berlarian mengejar bola karet merah yang bergelinding tersebut. "Baobao, jangan lari-lari!"

Akan tetapi, BaoBao yang hanya tahu ingin mendapatkan kembali bolanya ini malah kian mempercepat larian. Lantas sebagai seorang ibu, apa mungkin Xue Jing membiarkannya? Terlebih ini di tempat umum, bukanlah di rumah.

Oleh karenanya, menyusul sudah pasti Xue Jing lakukan. Mendapati pula sang putra yang berada di usia lagi aktif-aktifnya itu tidak lagi berlari, melainkan berdiri termenung memerhatikan gadis cilik yang mengambil bahkan menyodorkan kemudian bola karet merah tersebut pada BaoBao yang menerima kemudian.

"BaoBao, ucapkan terima kasih padanya." Pun BaoBao menuruti, kemudian meraih tangan Xue Jing yang juga tak paham kenapa putranya ini malah bersikap aneh. Padahal biasanya ia akan suka berinteraksi, tapi kenapa saat ini malah menjadi pengecualian? Mungkinkah malu pada gadis cilik ini?

"Putramu sangat menggemaskan, kurasa seumuran dengan putriku."

Sempat dibuat terdiam Xue Jing, mendapati akan suara wanita ini tampak tak asing dipendengarannya. Namun, dienyahkan sudah pemikiran tidak-tidaknya itu. "Putrimu juga sangat cantik, tidak kalah menggemaskannya." Pandangan dari BaoBao dialihkan sudah pada wanita yang berucap barusan.

DEG!

Termundur selangkah tungkainya, netra membulat pun napas tercekat. Tangan yang menggenggam BaoBao ikut pula mengerat, meringiskan sang putra. Akan tetapi, Xue Jing terlalu sibuk untuk menyadari hal itu. Malah ia secara perlahan mulai melirik ke arah pria yang datang bersama wanita ini, semacam ada magnet yang memintanya untuk melakukan hal tersebut.

Beruntung setidaknya ada He Ting yang menyadarkan, tapi suaminya ini menggeleng semacam meminta untuk jangan berucap apa pun. "Maaf jika kami mengganggu waktu kalian," ucap He Ting akhirnya, meraih sebelah tangan Xue Jing yang sedikit gemetar. "Kalau begitu kami permisi dulu." Menarik istri dan putranya menjauh, tak henti-hentinya pula ia melirik pada Xue Jing yang masihlah berusaha menenangkan diri. "Wanita itu bukan Mo Shan, Xue Jing. Tenang dan lupakanlah."

"Aku tahu ... hanya sedikit tidak menyangka akan melihat wajah itu lagi." Kembali Xue Jing menoleh, tapi bukan melihat ke arah si wanitanya melainkan kepada si prianya. "Tidakkah menurutmu pria itu mirip dengan Pak Tua?"

He Ting mengangguk meskipun tak ikut menoleh. Tak ingin pula memikirkan apalagi menyangkutpautkan dengan masa lalu yang telah berakhir itu, meminta dengan sangat agar Xue Jing berhenti melirik. Yang mana tahu-tahu saja mereka telah kembali ke meja makan, mendapati akan bagaimana makanan hangat telah kehilangan uap putihnya. Termasuk pula dengan minuman dingin yang terus saja meluruhkan buliran air dari permukaan gelas.

Namun, akankah He Ting masih mampu menyangkal ataupun menenangkan Xue Jing setelah tahu wanita yang memiliki rupa sama dengan Mo Shan ini malahan menjatuhkan pandangan tajam pada Xue Jing kini? Bahkan menyeringai tatkala sepasang netra sempat nyala kemerahan sebelum akhirnya kembali menghitam.

Lantas benarkah wanita itu Wu Mo Shan ...? Mungkinkah ....

DEG!


The End
***

Gimana menurut kalian? Benarkah wanita itu Mo Shan? Ataukah bukan? (Aku sengaja kasih akhir seperti ini, biar ga hilang kesan misterinya😄😆) semoga kalian bisa menikmati tiap proses yang ada yaa🤗🤗 dan sangat-sangat terima kasih sudah bersedia meluangkan waktu kalian untuk membaca kisah ini🙏🙏

Sampai jumpa di ceritaku berikutnya yaa🤗 bye-bye❤💜

The Village : Secrets Of Past Life (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang