01.Gadis Berwarna

718 124 87
                                    

Angin dingin menerpa siapapun yang berada di luar rumah, memanfaatkan malam semakin larut dan semakin gelap saja. Namun, itu tak menyurutkan suasana di dalam sebuah bar yang dipenuhi dengan dentuman suara musik.

Pria, wanita semuanya berjoget mengikuti alur musik. Ada yang memegang minuman alkohol sambil menari, ada juga yang hanya bercumbu ria dengan pasangannya. Berbeda halnya dengan gadis yang duduk di depan meja bartender, dia hanya menjadi penonton yang menyaksikan pertunjukan gratis tanpa berniat ikut meramaikan pesta.

Makanan yang berada di depannya sudah habis sedaritadi, tapi itu tak membuat dia ingin segera pulang. Gadis itu meminta minuman kaleng kepada bartender yang menjadi kenalannya yang bername tagCalvin. Segera Calvin mengambil kopi instan yang menjadi favorit gadis di depannya.

Namanya Davira Cordelia, gadis berumur 16 tahun yang masih duduk di bangku SMA, tapi kelakuannya tidak pantas dikatakan seorang pelajar teladan. Lihat saja, tempatnya untuk singgah sekarang adalah sebuah club yang seharusnya tidak boleh disentuh kakinya.

Walau begitu, dia tidak pernah minum minuman keras di sini, hanya ingin melepaskan diri sejenak dari masalah yang selalu datang menyapanya. Davira tidak sendirian, ada beberapa teman wanitanya.
Bagi Davira tidak ada teman untuknya, yang ada hanyalah pengikut yang selalu menyetujui kemauan dan kelakuan Davira, meski itu buruk. Banyak yang mendekatinya hanya karena Davira anak orang berada, tapi walau begitu ia tetap menerimanya. Hitung-hitung membagi rezeki.

"Vir, belum pulang? Ini udah larut malam, loh. Ntar lo dicariin." ucap Calvin yang sudah duduk di depan Davira. Meja yang menghalangi mereka menjadi sasaran tangan Davira untuk bermain musik;
mengetuknya seperti bermain gendang.

"Ya elah, Vin. Siapa coba yang mau nyariin gue? Wong Bokap gue keluar kota." balas Davira lalu meneguk minuman kaleng yang masih dingin, "Walau bokap gue ada, dia juga gak bakal nyari gue." imbuhnya.

Calvin sudah mengenal Davira dan kisah-kisahnya, jadi ia mengerti. Davira termasuk anak yang memiliki sikap humor dan mudah bergabung dengan lingkungannya, jadi tak heran jika ia memiliki banyak kenalan. Orang yang dikenalnya pun hanya orang di club ini, dan beberapa orang di sekolahnya.

Usia Calvin dan Davira hanya terpaut dua tahun saja, maka dari itu Calvin bisa akrab dan menjadi tempat curhat untuk Davira. Sebenarnya, ia kasihan dengan gadis itu yang terlihat kesepian dan depresi. Namun,Sebenarnya, ia kasihan dengan gadis itu yang terlihat kesepian dan depresi. Namun, mau bagaimana lagi? Dia hanya seorang bartender yang menjadi sandaran saja untuk Davira, dia tidak ingin ikut campur terlalu jauh masalah Davira.

"Vi, pulang. Ini sudah jam empat," peringatan Calvin diacuhkan gadis muda itu, ia masih meneguk kopinya dengan santai dan sesekali melirik ke arah para penari berada.

"Vin, gimana sih, rasanya minuman-minuman itu?" Tanya Davira sambil menunjuk jejeran bir yang berada di belakang Calvin. Rasa penasarannya tiba-tiba datang saat melihat para pengkitunya minum dengan nikmat sambil berjoget.

"Kenapa? Mau nyoba?" seperti sebuah tantangan ditelinga Davira, tapi bocah itu tantangan ditelinga Davira, tapi bocah itu hanya tersenyum dan menggeleng kuat. Dia masih sayang dengan hidupnya, dan lagian masih ada yang harus diwujudkan untuk masa depan.

"Mereka kelihatan nikmat habis minum, makanya gue penasaran." Rasa penasaran Davira mulai meninggi saat semua orang tertawa sehabis meneguk minuman haram itu.

"Gue gak tau rasanya, Vi. Di sini, gue cuma kerja, gak minum. Tapi, yang gue denger dari mereka rasanya itu enak. Gue gaj tau enaknya kayak gimana." Jelas Calvin lalu meninggalkan Davira karena ada pelanggan.

Davira membulatkan mulutnya tanda mengerti, ia lalu melirik arloji yang melilit di tanganya. Pukul setengah lima, sudah hampir pagi dan Davira akan berangkat sekolah.

Dia lalu melihat orang yang ditemaninya ke sini, mereka masih asik dengan lelaki yang menggandeng mereka. Davira lalu pamit ke Calvin yang masih menuangkan bir ke gelas pelanggan.

Jalanan sepi membuat Davira semangat memacu motornya, kaca helm tetap tertutup seperti biasanya agar tidak ada yang mengganggu mata saat mengendarai motor. Jalanan yang biasanya dipenuhi kendaraan kini lebih lenggang membuat jiwa liar siapapun akan memberontak untuk segera menarik gas, seperti halnya yang dilakukan Davira.

Tiga puluh menit menempuh jalanan, akhirnya Kiara sampai di rumah. Bangunan megah nan mewah itu terasa dingin karena sedikit berpenghuni. Hanya ada seorang asisten rumah tangga, satu satpam, dan dua penjaga kebun, dia sendiri heranmengapa Ayahnya membuat rumah mewah jika tidak berniat menempatinya? Toh, kalaupun mau kan bisa buat yang sederhana saja.

Bi Inah--Pembantu rumah tangga--menyambut kedatangan Davira. Ia tahu gadis itu sudah pulang karena suara motornya yang sengaja dimodifikasi. Bau alkohol menyeruak di indera penciuman Bi Inah saat Davira lewat di dekatnya, wanita paruh baya itu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum simpul, Davira ini terlalu bebas dan kurang pengawasan padahal jika Ayahnya sudah pulang dan tahu kelakuan Davira pasti akan dimarahi habis-habisan.

***
Sinar matahari perlahan menembus jendela kamar Davira yang sengaja dibuka, membuat la menarik selimut sampai menutup semua tubuhnya. Kantuk masih belum hilang dari jiwanya karena baru saja tertidur. 74

Ketukan pintu dan suara Bi Inah sudah terdengar daritadi, wanita paruh baya itu berusaha membangunkan Davira meski ia tahu itu sia-sia saja. Akhirnya, ia menyerah dan kembali ke bawah untuk melanjutkan bersih-bersih rumah. Bi Inah tidak mau mengganggu Davira, mungkin perempuan itu sangat lelah untuk saat ini.

Jam menunjukan pukul tujuh pagi, berarti Davira baru tertidur dua jam, tentu itu tidak cukup. Namun, karena ia masih sadar kalau masih hari sekolah maka dari itu dipaksa matanya untuk terbuka dan bergegas menuju kamar mandi.

Kini, baju seragam sudah melekat dibadannya. Jaket levis hitam dengan hodie siap untuk menemani langkahnya. Tidak ada polesan make-up sedikitpun, cantik natural lebih mendominan di diri Davira. Tudung kepala juga menutupi rambutnya yaang tergerai bebas, meski tidak memakai perhiasan itu tidak mengurangi sedikitpun daya tarik Davira.

"Pagi, Bibi." sapa Davira sambil duduk. Makanan kesukaannya sudah terhidang di depan mata, nasi goreng dengan potongan sosis dan bakso ditambah sayuran segar yang melengkapi hidangan pagi ini. Davira makan dengan lahap, masakan Bi Inah selalu terasa enak di lidah, andai saja mamanya yang membuatkan sarapan seperti ini mungkin akan lebih menambah enaknya.

"Bi, Vira berangkat dulu ya.

Assalamu'alaikum," pamit Davira lalu menyambar tangan Bi Inah untuk dicium. Tidak ada yang tahu jika Davira sering melakukan itu ke Bi Inah, bahkan Ayahnya sekalipun. Hanya dia dan Bi Inah seorang yang tahu. Senakal-nakalnya Davira, ia masih tahu sopan santun dan cara hormat kepada orang tua, meski itu Bi Inah sekalipun. Hormat tidak memandang kasta atau derajat seseorang, itu prinsip Davira.

***

Motor matic berwarna hitam terus saja melaju tanpa memperdulikan protes dari suara klakson kendaraan lainnya. Mobil, motor, dan kendaraan apapun terus saja dilewati dengan cara menyalipnya, seperti memamerkan keahlian dalam mengendarai motor.
Davira terus menarik gas, tidak pernah sedikitpun dibiarkan jarum angka menunjuk dibawah kecepatan tujuh puluh kilometer per jam. Kenakalannnya itu hampir saja membuat dia jatuh saat menyalip sebuah truk, untung saja memiliki skill yang terbilang bagus.

Tidak butuh waktu lama, akhirnya sampai juga dia di sekolah. Gerbang sudah mau ditutup saat dia datang, tentu saja karena dua menit lagi bel akan berbunyi. Langsung saja ditarik gas motor menuju ke parkiran dan segera berlari menuju kelas.

Next?

Davira[Si gadis Tomboy]
18th

Davira[Si gadis Tomboy]18th

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang