Davira memasuki rumah besar nan megah. Langkahnya berhenti sejenak saat melihat Haris--Ayahnya--masih berkutat dengan laptop. Dia melanjutkan langkahnya dan menganggap tidak melihat apapun tadi, hanya dianggap angin lalu saja.
Deheman dari Haris tidak diperdulikan Davira, padahal jelas jika suara itu untuk Davira. Gadis itu tak peduli dan tetap menenteng tas sekolahnya, dengan jas yang sudah dibuka. Tampilannya tidak seperti gadis yang lainnya, yang anggun jika berjalan, selalu sopan, dan lebih penurut kepada orangtua. Sedang Davira, dia gadis tomboy yang tak mengenal itu semua.
"Vira, sini!" seru Haris, dia melihat putrinya tak menggubris dehemannya. Maka dari itu ia memberanikan diri untuk memanggil Davira, ingin berbicara dengan anak itu.
Davira berhenti dan membalikkan badan, dia mengangkat sebelah alis sebelum melangkahkan kaki mendekati pria yang sibuk bekerja.
Tepat disamping meja dengan laptop dan kopi di atasnya, Davira berhenti. Ia melemparkan tas dan jasnya ke sofa yang ada didekat sana. Matanya menatap Haris dengan tanya.
"Darimana saja kamu?" tanya Haris dengan suara berat dan tegas. Matanya tak lepas dari layar laptop, begitupun dengan jari-jarinya yang masih menari di keyboard. Tangan kirinya meraih gelas yang berisi kopi dan menyesap sedikit, lalu dikembalikan ke tempat semula.
"Kalau ngomong itu lihat ke lawan bicaranya, nggak sopan kalau seperti itu." protes gadis itu. Dia menaik-turunkan kedua alisnya, merasa menang. Telinganya senang sekali mendengar suara Ayahnya setelah sekian lama hanya terdiam saja.
Itu karena Ayahnya yang jarang di rumah, dan juga bisa dibilang tak pernah menelepon saat jauh di sana. Sebenarnya Davira masih memiliki Ibu, tapi wanita itu tak jauh berbeda dengan Ayah Davira yang selalu dimasukkan dengan pekerjaan.
Mata Haris berpaling menatap Davira setelah menekan tombol enter. Berkas yang sedaritadi dikerjakan sudah selesai, dan siap untuk fokus dengan Davira untuk sekarang.
"Ternyata Putri papa udah besar." gumaman Haris terdengar Davira, gadis itu menatap Ayahnya tak suka. Matanya mendelik dan memilih menatap ke arah lain.
"To the point aja, ntar kerjanya terganggu lagi. Davira 'kan gak lebih penting dari kerjaan, Papa," ujar Davira. Ia melangkah menuju sofa yang berada disamping meja, dan menjatuhkan bobotnya disana.
Dengan kedua tangan direntangkan ke samping, dan kaki kanan ditempatkan diatas kaki kiri. Bagai bos besar yang sedang menikmati masa istirahat. Haris memutar kursinya agar bisa berhadapan dengan Davira, meski jarak mereka agak jauh.
Haris tersenyum, sekian detik wajahnya berubah serius. "Kamu darimana? Sore gini, kok, baru pulang?" Nada suaranya lembut, tapi mengintimidasi. Sorot matanya sendu menatap Davira yang terlihat santai saja.
"Kenapa? Itu juga nggak penting." ucap Davira balik menatap mata Ayahnya.
"Kalau ditanya itu dijawab, bukan seperti itu. Sikap kamu, kok, jadi seperti ini?" Haris mengerutkan keningnya sampai kedua alis hampir menyatu. Sepertinya lelaki yang berumur itu marah dengan perlakuan Davira yang kurang menyenangkan, dan terbilang kurang sopan, padahal itu Ayahnya, orang yang sudah membiayai hidupnya.
"Dari dulu ... dari dulu, davira memang seperti ini. Kenapa? Gak terima?" Davira menantang. Tatapannya tajam menatap wajah Ayahnya, ia berdiri dan mendekati pria itu.
"Dimana sopan santun kamu sama orangtua?!" Haris berdiri, berhadapan dengan Davira yang menampakkan raut meremehkan. Emosi Haris mulai meluap, sudah pusing mengerjakan tugas, malah ditambah pusing dengan sikap Davira.
Davira melemparkan tatapan tajam, ia tidak kalah garangnya dengan Haris, yang mengepalkan kedua tangan menahan amarah.
"Udah gak ada lagi 'kan yang perlu dibahas? Kalau begitu vira mau ke kamar, capek." Davira berlalu meninggalkan Ayahnya, tapi baru beberapa langkah ia berhenti dan membalikkan kepala.
"Selamat datang di rumah. Papa davira yang seorang duda beristri." Davira terkekeh sendiri setelah mengucapkan kalimat itu. Dia berbalik dan melanjutkan langkah mendekati tangga, penghubung lantai satu dan dua, dimana kamarnya berada.
"Davira!" Teriakan Haris menggema disuruh penjuru ruangan, bahkan Bi Inah yang sedari tadi berada di dapur juga kaget mendengar suara itu.
Haris melangkah, mendekati Davira yang berhenti di bibir tangga. Tubuh Davira berbalik, agar bisa berhadapan dengan Haris. Amarah yang sedari tadi ditahan akhirnya meluap juga, terlihat dari rahangnya yang mengeras dengan wajah yang memerah.
Plak!
Kebas, itu yang dirasakan Davira dipipi kanannya. Tangan Haris yang melakukan itu, tangan yang pernah menggendongnya diwaktu kecil, dan sekarang bekerja untuk menghidupinya. Namun, sekarang tangan itu mendarat di pipi Davira, putri tunggalnya.
"Ck! Papa marah? Kenapa?" Davira menatap manik hitam Haris. Sekuat mungkin dia menahan air matanya agar tidak tumpah, malu dong, seorang jagoan menangis hanya karena ditampar. Bukankah dia sudah merasakan sakit yang lebih dari ini?
"Kamu itu benar-benar gak sopan, ya. Dimana ajaran yang papa berikan? Kenapa sikap kamu seperti orang yang tidak mendapat didikan? Ini pasti karena pergaulan kamu yang bebas!" Haris berteriak, tepat di depan wajah Davira.
Gadis itu tersenyum pedih, Apa yang Ayahnya bicarakan? Kenapa seolah-olah Pria itu mengajarinya banyak hal? Bukankah dia tidak pernah ada disamping Davira? Dan, kenapa Ayahnya sok tahu mengenai kehidupan Davira? Hei, Haris itu tidak tahu soal Davira, sikap maupun pergaulannya di luar sana.
"Kapan Papa ngajar dan ngedidik vira? Kapan?!" Davira berteriak, tak kalah kerasnya dengan suara Haris. "Dan, apa yang Papa tahu soal vira? Selama ini, Papa nggak pernah sekalipun mengurus vira." sentaknya terus dengan suara tinggi. Tangannya mulai terkepal, menahan sesuatu yang bergejolak didalam sana.
"Papa tahu semua tentang kamu!" Haris memegang kerah baju Davira. Tangannya kembali melayang dipipi gadis itu hingga terjatuh di lantai, karena memang kali ini lebih keras.
"Sok tahu! Papa sok tahu!" Davira kembali berteriak, tapi tidak seperti tadi. Suaranya mulai melemah dengan pipi yang memerah dan sudut bibir sobek yang mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
Haris berjongkok, menyamakan posisinya dengan Davira. Putrinya itu beringsut mundur, sampai menyentuh anak tangga pertama. Sepertinya, ia ketakutan sekarang.
"Papa emang gak sayang sama vira. Sepertinya malam ini, vira harus berpikir apa besok mau bernapas, atau balik aja ke atas sana." Davira tertawa, menampakkan gigi putih yang tersusun rapi. Ia tak berteriak lagi, dan memilih untuk melemahkan suaranya.
"Vira, maafin, papa. Papa nggak sengaja." Haris tertunduk, menyesali apa diperbuatnya. Ia seperti monster yang menakuti gadis kecilnya. Matanya berembun melihat kondisi Davira yang memprihatinkan, dan lebih parahnya itu karena ulah tangannya.
Davira hanya terdiam, mengatur napas yang tersengal-sengal. Dadanya sesak, begitupun dengan matanya. Ia memilih untuk pergi dan menaiki tangga. Meski langkahnya gontai dan tenaga yang cukup terkuras, bagaimana tidak? Baru sampai, tapi, langsung dapat amukan.
Davira hanya butuh perhatian dan kasih sayang, apa Ayahnya tak mengerti itu? Setelah sekian lama ditinggalkan pasti ada rindu, dan Davira ingin menuntaskannya dengan memeluk bahkan ingin bercengkerama dengan pria itu. Namun, malah mendapatkan hal seperti ini. Menyedihkan sekali!
Next?
#happy reading guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Ficção AdolescenteMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...