08.Palsu?

130 65 26
                                    

"Davira!" teriakan yang menyebut nama gadis yang sedang berjalan menghentikan langkahnya, ia hanya diam dan menatap lurus saja. Menunggu kedatangan orang yang memanggil tadi.

Namun, sepertinya Davira mengenal suara itu. Ya, suara lelaki yang suka sekali memberinya 'punishment'. Pasti dia sudah dapat laporan dari Bu Aidah karena kelakuannya, ya sudahlah! Semuanya sudah terjadi.

Tanpa sepatah kata, Pak Adam langsung menarik tangan Davira. Sang empunya tangan hanya bisa mengikut pasrah tanpa membantah, ia berusaha mengimbangi langkah lebar lelaki itu.

***
Ruangan Pak Adam terasa hening, hanya deru napas yang dipaksa teratur untuk mengatur perasaan yang tak karuan. Guru yang tak lagi muda itu memijit keningnya, kelakuan Davira benar-benar membuat kepalanya pening. Tadi pagi tidak mengerjakan tugas, dan sekarang malah berulah lagi.

Apa hidup perempuan ini tidak bisa tenang tanpa berbuat onar? Pak Adam sendiri heran dengan Davira, kelakuannya seperti anak laki-laki padahal dia anak gadis. Setelah napas dan perasaannya mulai beraturan, Pak Adam melihat Davira yang hanya duduk dengan sikap cueknya, sadar akan diperhatikan, gadis berambut hitam dengan ujung bergelombang itu menatap balik manik hitam milik Pak Adam.

"Kamu itu kenapa, Vira? Ada masalah? Coba cerita sama, bapak." Pak Adam mencoba mengutarakan isi hatinya, suaranya terdengar lembut dan tidak mengandung penekanan.

Davira memicingkan matanya, menatap intens orang yang mengajak berbicara. "Bapak nggak perlu tahu." cetus Davira ditemani sikap cueknya. Tangannya bergerak meraih botol air yang masih penuh, dan mulai meminumnya tanpa memerdulikan tatapan si empunya botol.

"Saya itu haus, Pak. Daritadi ngebersihin mushola, capek tau." cerocos Davira bagai menjawab tatapan mata Pak Adam. Ia kembali meneguk air mineral itu hingga tandas tanpa tersisa, sepertinya dia benar-benar haus, dan jangan lupa perutnya yang mulai terasa lapar.

Wali kelas Davira hanya mengukir senyuman tulus, dia tidak ingin hubungannya dengan Davira semakin renggang, ia akan usahakan hari ini Davira akan jujur dan mau bercerita tentang masalah yang membebaninya.

"Davira, kalau kamu berbuat seperti ini terus, bisa-bisa nanti dikeluarkan dari sekolah, loh." ungkapan Pak Adam tidak digubris oleh Davira, gadis itu hanya menatap sinis pria yang ada di depannya. Kenapa dia peduli dengan Davira? Apa Ayahnya sudah membayar guru ini? Ah, sudahlah semuanya sama saja.

"Bapak nggak perlu peduli. Memangnya berapa, sih, uang yang Papa kasih ke Bapak?" pertanyaan Davira membuat Pak Adam menatapnya intens. Dia tak mengerti apa yang Davira ucapkan, apa maksudnya uang pemberian Ayahnya? Mereka memang bersahabat, tapi tidak ada kasus suap-menyuap disini hanya untuk mempertahankan Davira. Aturan, tetap aturan! Jika memang Davira harus dihukum maka itu akan dilaksanakan.

"Tolong kamu ngerti, ini itu sekolah. Kalau kamu terus saja liar seperti ini, bapak takut kamu akan benar-benar diskors dari sini." Pak Adam mencoba menjaga nada bicaranya agar tidak melejit naik. Lelaki berambut hitam itu kembali memijit keningnya, Davira terlalu keras kepala untuk dinasehati.

"Saya emang liar, Pak. Maka dari itu, Bapak nggak perlu ngasih saya perhatian, apalagi sampai kayak gini. Saya tidak butuh." ucap Davira lalu berdiri, bersiap untuk pergi. "permisi."

Dia melangkahkan kaki menuju pintu, saat ingin memutar knop pintu, suara Pak Adam menghentikan aktivitasnya.

"Kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan-sungkan bilang ke bapak, ya. Oh ya, itu tangannya jangan lupa diobatin, nanti infeksi."

Davira mencebik mendengar kalimat Pak Adam, tapi disisi lain ia merasa sedikit senang karena ada yang memerhatikan. Tanpa sadar, senyuman tipis terbit diwajah chubby-nya. Dia pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Pak Adam, tujuannya sekarang adalah kantin. Ia tak mungkin masuk ke kelas, karena ini masih waktunya jam belajar. Bisa-bisa jika masuk sekarang, ia kembali akan mendapat hukuman.

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang