"Dasar perusak suasana." gerutu Davira.
Ia memalingkan wajah dari spion lalu menatap ustadzah Nada, memasang wajah kesal dengan campuran tatapan sinis. Sedangkan si pengemudi hanya tersenyum tipis lalu mulai menyalakan mobil.
Perjalanan terasa begitu hidup karena adanya Davira yang terus saja mengomel, kadang sesekali menatap takjub sisi-sisi jalanan yang ditumbuhi pepohonan hijau. Udara sejuk menyapa wajahnya saat membuka kaca jendela mobil.
Dia tak lagi mengomel, mungkin sudah lelah. Matanya lebih fokus ke luar, menikmati angin dan memanjakan mata. Suasana hati yang tadinya gerah kembali seperti sedia kala; sudah membaik seiring menjauhnya mereka dari pondok.
"Pinjam handphone Lo, dong." pinta Davira tanpa menoleh, sambil menengadahkan tangan ke arah ustadzah Nada.
"Buat apa?" meski heran dengan permintaan Davira, dia tetap memberikan ponsel miliknya.
Cekrek!
Suara tombol kamera berbunyi beberapa saat setelah ponsel diterima. Tanaman hijau dan rumah penduduk tak lepas dari mata kamera, pemandangan alam yang indah dan jarang ditemukan di kota tidak boleh dilewatkan begitu saja tanpa adanya kenangan yang dijadikan moment nanti.
"Foto, yuk!" seru Davira sambil memposisikan kamera agar wajah keduanya terekspos.
Tanpa aba-aba, Davira kembali menjepret dirinya dan ustadzah Nada. Sayang, meski gayanya sudah bagus, wanita yang diajak berphoto malah belum ambil posisi.
"Satu, dua, tiga! Chesee!"
Dua jari terangkat membentuk huruf V dengan wajah yang tersenyum ceria menjadi pilihan gaya keduanya. Photo kali ini berbeda dengan yang sebelumnya, ini perfect dimata Davira, dan ustadzah Nada juga puas dengan hasil jari gadis itu.
Mereka kemudian berselfie ria layaknya di mobil itu tidak ada siapapun kecuali mereka berdua. Berbagai gaya sudah tercetak di album ponsel, dari yang elegan, wajah marah, jutek, dan berbagai emosi lainnya. Setelah puas, Davira mengembalikan HP itu pada pemiliknya.
"Ekhem,"
Deheman sang sopir menyadarkan Davira. Ia baru ingat ternyata mereka sedang berada dalam perjalanan dengan tiga manusia di sini.
"Berphoto, kok, nggak ngajak-ngajak." protesnya sambil melirik dua perempuan melalui kaca yang tergantung di tengah.
"Kamu nggak usah, nanti aja kalau sudah photo prewedding buat nikahan. Hahah!" ujar ustadzah Nada di selingi tawa diakhir kalimat.
Davira yang menyaksikan interaksi mereka berdua hanya menatap datar. Sepertinya wanita berhijab merah maroon di sampingnya ini sudah kenal lama dengan sang pengemudi mobil, lihat saja interaksi keduanya yang terbilang cukup hangat.
"Oh ya, Vi. Yang ngemudiin mobil ini namanya ustadz Zahran, pengajar di pesantren juga. Cuma, dia jarang masuk ke kelas santriwati. Cuma masuk kalau gantiin guru. Dia lebih aktif di kelas santri, makanya jarang kelihatan. Oh ya, Zahran ini sepupu saya, cuma beda beberapa tahun aja."
"Oh."
Jawaban Davira menggambarkan jika gadis itu tidak tertarik. Mereka sudah setengah perjalanan dan ustadzah Nada baru. menceritakan sosok pria yang disukainya? Astaga, andai daritadi pasti Davira tidak akan se-kaku ini, bukan kaku tapi gugup.
Davira juga merasa ada saingan untuk mendapatkan ustadz Zahran, meski ustadzah Nada itu sepupunya tidak menutup kemungkinan 'kan jika mereka akan menikah. Belum lagi tadi jawaban ustadzah Nada saat membalas protes ustadz Zahran, itu menggambarkan jika mereka seperti sudah dekat dan kenal lama.
Perasaan campur aduk mulai menghampiri Davira, tapi berusaha ditepisnya kuat-kuat agar tidak bikin sakit hati sendiri. Dia harus bisa meyakinkan diri bahwa orang yang duduk di depannya ini adalah calon imam Davira di masa depan, dan Ayah untuk anak-anak mereka nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Novela JuvenilMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...