Davira kira sekolah barunya dekat, ternyata jauh dari kota sebelumnya. Pasti Ayahnya sengaja, agar ia tak bisa berkutik di sana nanti. Aih, dasar menyebalkan!
Mereka semua sedang menikmati makan siang di warung bernuansa tradisional. Makanan enak yang menyentuh lidah membuat siapapun pasti akan mabuk oleh nikmatnya makanan lezat itu, ditambah angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah.
Terlihat semua orang sibuk dengan makanan masing-masing, tak terkecuali Davira yang memang doyan dengan sambal selalu nambah dan nambah lagi. Beberapa kali Bi Inah mengingatkan efeknya, tapi Davira bilang ia akan baik-baik saja.
Perilaku Davira membuat Ririn geleng-geleng kepala, efeknya memang belum terasa tapi, pasti nanti akan muncul juga. Mereka juga yang akan repot. Dasar Davira, keras kepalanya sudah mendarah daging.
"Eh, kepala batu! Jangan makan cabe banyak-banyak, ntar kalau lo ngomong, pedes, lagi! Kayak Mak-Emak yang nyindir pelakor!" ketus Ririn yang sudah bosan mendengar kakaknya selalu mengingatkan Davira.
Wajah kesal diperlihatkan agar lebih meyakinkan jika dia benar-benar naik darah. Ingin sekali rasanya mencubit ginjal gadis itu agar tidak nakal lagi. Oh Tuhan, kenapa kau mempertemukannya dengan bocah tengil seperti Davira?
Tapi, ada serunya juga, sih, kalau sama Davira. Ia tidak rempong seperti remaja pada umumnya, dan mangut saja jika diberitahu sesuatu, itu kalau dia memang mau menurut. Ada juga sisi baiknya yang lain, yaitu ia mau menggunakan tangan saat makan tanpa protes jika tidak menggunakan sendok.
Davira sebenarnya sudah biasa makan pakai tangan, tapi ia cuma tidak mau diledek dengan Ririn nanti kalau wanita itu memakai sendok sedang ia hanya pakai tangan. Terlihat bukan Davira sekali. Jika biasanya ia tak peduli dengan ucapan orang lain, sekarang jadi agresif setelah bertemu Ririn, seperti ada saingan.
"Lu cewek apa bukan? Makan segitu banyaknya. Gak takut nanti badan melar?" antara kaget, heran, dan takjub. Semua bercampur jadi satu saat Ririn melihat Davira mulai makan seblak.
Sepiring nasi dengan ikan bakar rica-rica tadi sudah habis, dan dia lanjut makan seblak yang baru saja dipesan. Terlihat asap masih mengepul saat Davira mengangkat sesendok seblaknya. Air liur serasa meleleh melihat itu, nikmat. Apalagi saat dimakan panas-panas.
"Lebih mentingin perut apa penampilan?" tanyanya sambil melihat Ririn yang sedang menyeruput jus jeruk.
Biarkan saja hari ini dia makan sepuasnya. Toh, kalau di pesantren nanti tak bisa makan sesuai keinginan. Ada aturan dan batasan di sana. Lagipula, makan banyak hari ini tidak akan langsung mempengaruhi berat badan bukan?
"Penampilan bukan segalanya." ujar Davira lalu kembali menghabiskan seblak yang tinggal setengah mangkok saja.
***
"Om, berhenti dulu." pinta Davira
Mereka sudah berada di dalam mobil, melanjutkan perjalanan menuju ke tempat tujuan. Tanpa bantahan apalagi suara menjawab, Om Salman langsung menepikan mobil dekat masjid. Ia sedikit cuek, tapi sebenarnya baik dan perhatian.
Tanpa menunggu lama lagi, Davira turun dari mobil dan menghampiri masjid. Terlihat ia tergesa-gesa masuk kamar kecil yang terdapat di halaman masjid. Setelah selesai, ia kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan yang tadi sempat terhenti."Kak Rin, tahu gak apa bedanya Kakak sama aku?"
Suara Davira tiba-tiba memecahkan keheningan yang terjadi beberapa menit lalu. Ia tampak antusias menunggu jawaban dari orang yang diberi pertanyaan. Kepala Ririn kembali menyembul dari depan ke belakang. dilihatnya Davira dengan lekat sembari berpikir.
"Tau lah. Gue cantik, baik, anggun, dan gak keras kepala. Sedangkan lo, lo itu sengklek, gak ada sifat cewek-ceweknya, deh." tawa menggelegar di dalam mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Teen FictionMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...