Silau cahaya merasuk ke dalam kamar, membangunkan gadis yang tidurnya nyenyak sekali. Bagaimana tidak? Baru kali ini dia tidur cepat dan tenang. Tidak seperti biasa, tidur saat malam sudah larut dan memilih begadang.
Dia beranjak dari tidurnya dan duduk. Setelah merasa cukup, langsung saja bergegas ke kamar mandi untuk melakukan ritual pagi.
Sekitar 30 menit, Davira sudah selesai dengan dirinya. Ia berniat untuk ke bawah untuk sarapan, tapi ekor matanya menangkap sesuatu di dekat pintu yang membuatnya berhenti. Itu adalah koper miliknya, tapi mau dibawa kemana?
"Bi! Bibi!" teriakan Davira menggema ke seluruh ruangan. Dari menuruni tangga hingga mencapai dapur ia masih senantiasa berteriak seperti orang kesetanan.
Semua yang ada didalam rumah kaget mendengar teriakan itu, takut kalau terjadi apa-apa dengan si empunya suara. Haris yang tadi masih berada di kamar, juga keluar mencari suara yang berteriak tadi.
"Ada apa, Vi? Kok, teriak-teriak?" tanya Bi Inah dengan dahi mengkerut.
Heran dengan Davira yang masih pagi sudah teriak, seperti di dalam hutan saja. Haris yang baru sampai sedang mengatur napas akibat berlari menyusul Davira. Sedang gadis itu menatap Bi Inah dengan tatapan mengintimidasi. Ia tak peduli dengan Ayahnya yang sedang menatapnya.
"Kenapa baju-baju davira ada di dalam koper? Dan sebenarnya vira mau dibawa kemana, sih? Bukannya ke sekolah baru masih besok?" rentetan pertanyaan sekejap keluar dari bibir gadis itu.
Bukannya segera menjawab, Bi Inah malah menatap Haris. Seakan meminta persetujuan sekaligus izin untuk meladeni Davira. Ia yakin, gadis itu takkan pergi jika belum mendapat jawaban yang diinginkan. Haris mengangguk, meyakinkan jika Davira akan tahu sekarang.
"Gini, kata Papa kamu, ke pesantrennya hari in--"
Belum sempat Bi Inah melanjutkan kalimatnya, Davira sudah mengangkat tangannya bertanda meminta untuk berhenti. Ia tahu lanjutan dari kalimat itu. Jadi, kesimpulannya adalah, Ayahnya tak menepati janji dan kembali berbohong. Padahal baru semalam ia berpikir positif, tapi sikap Ayahnya membuat ia kembli murka.
Rambutnya yang baru saja disisir rapi sudah kembali acak karena ditarik oleh Davira. la frustasi terus saja diatur seperti ini, apa susahnya jika memberikan ia sidikit luang saja? Dia hanya ingin free sehari saja.
Bukannya tak mau menuruti perintah sang Ayah, tapi semalam keduanya sudah sepakat jika berangkatnya lusa saja, bukan hari ini.
"Terserah!" bentak Davira. Ia berlalu pergi meninggalkan kedua orang yang masih dicintainya.
Dia akan keluar, mungkin ke club akan bisa menenangkan pikiran kacau saat ini.
"Naik taksi aja, deh, biar calvin yang bayar. Hehe," gumam Davira diselingi kekehan. Ia terus melangkah keluar rumah.
Tumben sekali Haris tidak berteriak memanggilnya, atau mengejarnya seperti
biasa. Biarlah, tidak perlu diambil pusing.
***
"Vi, kok, Lo ada di sini? Ntar bokap Lo nyariin lagi." jelas sekali terdengar nada khawatir di kalimat Calvin. Ia tak ingin Davira kembali dimarahi karena keras kepalanya dan juga sikapnya yang terlalu tidak peduli.
Gadis itu seakan lupa kejadian semalam, dan sekarang malah kembali ke tempat itu lagi. Calvin tahu jika Davira banyak masalah. tapi tetap saja ia tak setuju jika temannya ini terus membantah dan keras kepala.
Meskipun Davira tidak minum, tapi, ke tempat seperti ini malah membuatnya dilirik seperti anak kurang didikan, ya, walau itu benar.
"Paan, sih, Vin? Lo tenang aja, kejadian semalam gak bakal terulang lagi, kok. Santai, Man." Davira terlihat santai, dan tak ada beban saat mengucapkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Teen FictionMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...