33.Ke Rumah Tetangga

50 24 30
                                    

𝗛𝗮𝗽𝗽𝘆 𝗥𝗲𝗮𝗱𝗶𝗻𝗴^𝟯

Hari berganti hari, detik berganti menit dan menit berganti jam. Tak terasa waktu libur semester akan segera berakhir, hingga banyak para siswa sekolah menghabiskan waaktunya di luar rumah sepanjang hari.

Hal itu tidak berbeda jauh dari angan Davira, sayangnya izin tidak didapatkan karena alasan akan pergi ke tetangga. Tentang apa yang akan dikerjakan masih menjadi misteri. Sebagai anak yang dalam jalanan hijrah, tentu Davira tidak akan melakukan hal yang dilarang, yaitu pergi ke luar tanpa izin orang rumah.

Tak berapa lama, ustadzah Nada menghampiri Davira yang sedang duduk menonton televisi. Dia memanggil Davira untuk bersiap ke rumah sebelah, mengingat waktunya hampir tiba.

Davira yang diajak hanya menatap malas pada perempuan itu, ia sedang menonton adegan favoritnya, tapi malah dipanggil. Karena tidak ingin tanggung, maka Davira meminta waktu sedikit untuk menyelesaikan acaranya.

Orang yang mengajak Davira hanya mampu mengiyakan, sebab gadis itu meminta dengan rengekan dan tatapan memohon. Dia ikut duduk di dekat Davira, karena kalau pergi duluan maka tak yakin jika Davira akan menyusulnya nanti, apalagi kalau acara selanjutnya akan bermain.

Empat menit sudah berlalu, dan film juga sudah berakhir, dua perempuan yang tadi memiliki rencana berdiri dan berjalan ke luar rumah untuk memenuhi panggilan dari tetangga yang disampaikan kemarin. Tidak terlalu jauh, jadi hanya perlu berjalan kaki.

"Coba Lo bilang daritadi kalau bakal ke sini, pasti gue nggak bakal nunda-nunda," gerutu Davira yang menunggu tuan rumah membukakan pintu.

Ya, mereka sekarang berada di rumah. Zahran, lelaki yang Davira kagumi. Dia tidak menyangka akan datang ke sini, dan untuk pertama kalinya kakinya menginjak lantai rumah 'calon mertuanya', ah, halu.

Wanita paruh baya keluar, menjawab salam sebagaimana seharusnya dan mempersilahkan untuk masuk. Davira mengekori dari belakang, sedang ustadzah Nada berjalan beriringan dengan wanita yang membukakan pintu tadi. Kalau dilihat-lihat, sepertinya mereka saangat akrab, lihat saja cara mereka berbincang-bincang dan bercanda bersama.

"Camer gue, tuh, jangan terlalu dekat!" pekik Davira dalam hati. Ada keirian yang mulai muncul karena kakaknya seperti melupakan dirinya. Perempuan yang datang bersamanya tadi tidak menoleh sedikitpun dan malah terus mengobrol dengan wanita paruh baya itu.

Setelah menyimak daritadi barulah Davira tahu kalau itu Ibu pemilik rumah ini, karena panggilan 'Umi' yang disematkan ustadzah Nada dalam setiap kalimatnya. Davira masih bingung mereka akan kemana, karena ruang tamu sudah dilalui begitu saja tanpa merasakan empuknya sofa yang siap diduduki. Ingin bertanya, tapi malu karena posisinya dan ustadzah Nada sedang berjarak.

Bagaimana mungkin kalau Davira bertanya sedangkan sang pemilik undangan ada di dekatnya, itu kurang sopan namanya. Apalagi dia adalah Ibunya Zahran, harus menjaga image biar terlihat baik dan berakhlakul karimah. Lumayan untuk menambah nilai plus, bukan?

Setelah menyusuri ubin yang tertata rapi, mereka akhirnya sampai di dapur. Apa mereka mau dinner? Tapi, yang tersedia di meja makan hanya bahan makanan yang mentah, bukan makanan istimewa seperti di resto.

"Nah, Vi, umi itu mau ngajarin aku buat bikin seblak. Soalnya, seblak bikinan umi itu the best, gak kalah sama yang dijual di luaran."

"Nggak ada makanan yang matang gitu?" tanya Davira yang akhirnya angkat bicara.

Kedua tangannya berada di atas meja, melihat-lihat apa saja sayuran yang ada. Matanya hanya terpaku pada bahan-bahan yang ada di depan, padahal ia bertanya kepada ustadzah Nada yang entah sedang mengerjakan apa.

"Kamu lapar?"

Mendengar pertanyaan itu, Davira hanya menggeleng saja. "Gue cuma mau ngemil doang, bukan makan makanan yang berat." ucapnya yang kemudian menatap perempuan yang sudah ada di depannya, duduk di salah satu kursi dengan tangan yang susah dicuci bersih.

"Di--"

"Di kulkas ada puding, kalau kamu suka ambil aja," itu bukan suara ustadzah Nada, tapi ...

Davira segera menoleh ke belakang, terlihat Umi sudah memasuki dapur dengan celemek di tangannya. Seketika hati Davira tertegun karena mendapat respon langsung dari tuan rumah. Apa jangan-jangan Umi tadi mendengar ucapannya? Oh tidak!

'Ck! Keliatan banget kalau gue gak sopan. Tapi, kok bisa sih, gue kagak punya malu kek gini? Apa jangan-jangan urat malu gue udah putus? Au ah, mending balik aja dah ke rumah, daripada pipi cantik gue merah karena nahan malu. Uuh, jangan sampai!" batinnya menggerutu karena ulah sendiri, hingga terjadilah perdebatan antara hati dan pikiran.

"Kok, melamun aja. Katanya tadi mau nyemil, suara lembut Umi membangunkan Davira dari perdebatannya, hingga hanya bisa tersenyum kikuk dan melirik ke arah ustadzah Nada yang sedang tersenyum ke arahnya.

Gadis berhijab purple yang tadinya hanya diam memutar otak agar bisa keluar dari rumah calon mertuanya, ia yakin sekarang pipinya sudah memerah diikuti dengan mulutnya yang sudah salah tingkah. Ia harus memiliki alasan yang jelas dan logis, jangan sampai ucapannya nanti menimbulkan kecurigaan pada siapapun.

"Hm ... a--anu, aku lupa kalau ada janji sama umah. Vira balik dulu, ya, Mi. Kasihan umah yang udah nungguin." alibi yang cukup masuk akal. Semoga saja perempuan yang duduk di depannya tidak mengatakan apapun, atau kebohongan Davira akan terbongkar.

"Tapi--"

"Sorry, gue lupa bilang sama Lo tadi."

Dia sengaja memotong ucapan ustadzah Nada, agar urusannya tidak memanjang. Davira segera berdiri dan menuju ke Umi, diraihnya tangan wanita paruh baya itu dan menciumnya dengan takzim. Saat ustadzah Nada melihatnya, dia hanya menatap sinis lalu pergi dengan langkah terburu-buru.

"Dia kenapa, Nad?" tanya Umah saat sosok Davira sudah menghilang dari pandangan.

"Nggak tau, Umi. Mungkin ada urusan
yang kelupaan tadi." jawab perempuan itu
sekenanya.

Tidak ada lagi percakapan tentang Davira. Mereka langsung memulai eksekusi bahan mentah yang akan dijadikan makanan, dan jika berhasil rencananya akan dibagikan ke tetangga sekitar rumah, sebab dilihat dari bahan yang ada ini cukup untuk berbagi.

Sedekah itu tidak perlu yang mewah 'kan? Asalkan kita ikhlas. Bersedekah juga tidak perlu yang wah, asalkan kita melakukannya dengan niat penuh karena Allah subhanahu wa ta'ala. Hingga, insyaaAllah nanti Yang Kuasa yang akan membalasnya, sebab kita tidak mengharapkan balasan dari orang yang kita sedekahi.

~𝗕𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗯𝘂𝗻𝗴
𝗦𝗲𝗲 𝘆𝗼𝘂 𝗻𝗲𝘅𝘁 𝘁𝗶𝗺𝗲^𝟯

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang