"Kenapa nggak nyuruh nyokab Lo buat cerai sama ayah tiri lo itu?"
Pertanyaan itu mengawali pagi mereka
yang sedang berada di dapur. Davira masih penasaran dengan kisah semalam, maka dari itu menanyakan hal yang mengganjal pikirannya."Mama itu berhak untuk bahagia. Nah, kalau kami sebagai anak nggak bisa bahagiain beliau, pasti kebahagiaanya terletak pada suaminya." Armita menghela napas, sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Meski ayah orangnya seperti itu, tapi, beliau sayang banget sama mama. Dan, mama juga terlihat bahagia kalau sama suaminya yang sekarang."
Davira manggut-manggut mengerti. Pemikiran Armita sungguh dewasa dan luas. Ia jadi berpikir lagi untuk tindakan yang dilakukannya kemarin, hm... terlalu kekanak-kanakan.
Andai pikirannya seluas dan selapang Armita, tentulah sekarang hatinya tidak perlu dipenuhi dengan rasa tak karuan seperti sekarang. Ia jadi gelisah setelah mendengar penuturan Armita.
Setelah itu, tidak ada lagi percakapan. Hanya suara alat-alat dapur yang digunakan dan juga langkah kaki jika berjalan mengambil sesuatu.
Ridwan dan Cinta sepertinya kembali tertidur karena kelelahan. Maklumlah, semalam mereka berdua tidak langsung tidur saat masuk kamar, tapi sibuk dengan ponsel bermain game.
"Yaudah, aku panggil dua bocil dulu, yah. Pasti mereka udah lapar." ujar Armita lalu terkekeh saat mengatakan 'bocil'.
Gadis berhijab itu berlalu pergi setelah menitipkan gorengan yang belum selesai.
Davira kembali memotong sayuran sesuai arahan Armita, sesekali ia melirik wajan panas yang berisi minyak dengan tempe. Pikirannya kembali melayang pada kalimat Armita barusan, hingga kegiatan mengiris sayur dihentikan sejenak.
"Paan, sih? Gaje bener." pungkasnya saat pikiran mulai melayang tak pasti.
Ia jadi kesal karena terus-terusan bersedih, padahal gayanya itu berbeda dari ini. Ingin sekali rasanya berteriak untuk mengurangi beban, tapi takut disangka orang gila atau kurang waras. Apalagi kalau teriaknya di pinggir sungai.
Kegiatan yang tertunda kembali dilanjutkan, sambil tangan yang satu memainkan spatula di atas wajan. Setelah merasa sudah matang, ia mengangkat tempe itu dan meletakkannya di piring, lalu memasukkan tempe mentah yang sebelumnya sudah dipotong rapi.
Sayuran sudah selesai dipotomg, tinggal memasaknya bersama kawan-kawan penyedap. Karena Armita tak kunjung datang, ia berinisiatif untuk memasaknya sendiri. Semalam, Davira sempat melirik Armita meracik sayuran dengan takaran yang dikira-kira.
Mungkin jika Davira melakukan hal yang sama, rasa sayur ini akan persis juga dengan sayur semalam. Pertama, Davira mengambil panci lalu meletakkannya di atas kompor. Tuang sedikit minyak dan setel kompor dengan api sedang. Masukkan bumbu halus yang sudah diulek tadi dan tunggu hingga aromanya keluar, barulah sayur itu dimaksukkan.
Davira memasukkan air setelah merasa waktunya sudah tepat, lalu mengaduknya perlahan hingga mencakup seluruh tanaman hijau itu. Tempe yang sedaritadi digoreng sudah matang, hanya menunggu sayurnya saja dan siap untuk dihidangkan.
Seketika kebingungan melanda gadis itu sebab Armita tak kunjung datang, padahal kalau hanya membangunkan seseorang tidak akan selama ini. Tapi sudahlah, toh, mungkin tuan rumah lagi ada kerjaan mendadak maka dari itu langsung mengarah ke lokasi.
Gadis itu meletakkan semuanya di wadah yang tersedia, lalu menyusunnya di karpet. Tudung saji yang tergantung diraihnya dan menutup makanan itu, jaga-jaga bila ada kucing yang masuk. Ia berniat untuk mencari Armita, Khawatir jika terjadi sesuatu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Teen FictionMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...