Pagi ini, tidak ada yang berbeda dari gadis yang sedang duduk menikmati sarapan. Dia tetap melahap makanan di piring dengan lahap, tanpa memperdulikan yang terjadi disekitarnya. Semalam, dia tak makan hingga membuat perutnya terasa perih.
Wajah lebam dan sobek di ujung bibirnya tak menyurutkan rasa lapar yang sudah meningkat sejak tadi. Dilahapnya nasi dengan laut ayam geprek yang pedasnya minta nambah, tak lupa juga kuah sayur sop menjadikan makanan pagi ini tambah. nikmat.
Tatapan yang sedari dari tertuju ke dirinya tak dipedulikan. Dia tahu jika pria yang menamparnya kemarin sore sedang memperhatikannya, tapi dia tetap bersikap bodo amat. Yang penting sekarang dia kenyang, agar punya tenaga untuk disakiti lagi, eh! Maksudnya untuk membuat semuanya bahagia.
Setelah sarapan, Davira pamit ke Bi Inah dan berjalan di depan Haris tanpa menoleh apalagi untuk pamit. Ia mencelos keluar rumah menuju ke garasi, di sana masih ada satu motor milik Abangnya. Namun, karena pemiliknya tak ada, ia yang akan mengambil alih. Toh, kalau kenapa-napa tinggal minta ke Ayahnya lagi. Pasti diberikan.
"Keren juga, nih, motor. Tapi, lebih keren motor gue, sih," puji Davira sambil memperhatikan motor itu dari sisi kanan. Langsung saja dinaiki motor itu sambil tangannya memasukkan kunci ke tempatnya.
Berbeda dengan motor Davira yang memiliki knalpot bising, knalpot motor Abangnya ini terdengar biasa saja. Seperti suara motor matic yang biasanya. Ia menyembunyikan klakson, lalu melaju meninggalkan halaman rumah itu.
Helm full face masih melekat dikepala, untung saja kemarin dia masih sempat mengambil helm itu, meski ada lecet. sedikit, tapi, tak masalah. Davira membelah jalanan seperti biasanya, ia tak pernah peduli akan keselamatan dirinya maupun orang lain. Juga seperti tak sadar jika ia menunggangi motor Abangnya.
***
Jam pelajaran masih berlanjut, tapi Pak Adam sudah memanggil Davira untuk ke ruangannya. Ada hal penting yang harus segera disampaikan, dan tidak bisa menunggu lagi.
Keduanya berjalan bersama, Pak Adam di depan, dan murid nakalnya di belakang, mengikuti arah langkah kakinya. Sesekali gadis itu bersiul seperti lelaki, dan juga mengajak Pak Adam mengobrol, tapi gurunya ini tetap diam.
"Ada apa, sih, Pak? Kok pake ke sini segala, jam pelajaran lagi." Kesal, itu yang Davira rasakan. Sedari tadi bertanya tapi, tidak pernah dijawab.
Bokongnya sudah duduk di kursi depan Pak Adam. Guru itu sedang berpikir mau mulai darimana ia akan mlai bercerita. Rasa-rasanya perbincangan mereka ini akan terlalu panjang. Alasan mengapa Pak Adam mengajaknya sekarang, itu karena ia ingin pulang cepat karena ada urusan di rumah. Guru yang lain tak ingin menangani, sebab takut Davira akan berbuat seperti yang dilakukannya ke Bu Aidah tempo lalu.
Pak Adam mengambil napas lalu menghembuskannya. Kalimat kepala sekolah kembali terlintas di kepala. Matanya terpejam, lalu terbuka. la akan memulainya sekarang untuk mengevisienkan waktu.
"Apa yang kamu lakukan kemarin, setelah pulang sekolah?" Pak Adam mulai mengintrogasi gadis dihadapannya.
Perempuan itu terlihat santai saja, mimik wajahnya sudah berubah yang tadi penasaran bercampur kesal, sekarang lebih lega. Seperti angin yang tertahan keluar dengan lancar.
"Kepo, deh," cibir Davira. Bibirnya tersenyum mengejek dengan mata yang menyelidik. "Emangnya ada apa, sih, Pak?"
"Nih, surat buat kamu. Jangan lupa dikasih liat ke orang rumah, ya." Amplop putih sudah berpindah ke tangan Davira.
Gadis itu membolak-balik surat, karena tersegel jadi tidak bisa dibuka. Niat ingin membuka dengan cara merobek langsung dihentikan Pak Adam, tapi Davira tak peduli dan tetap merusak kertas itu.
Kertas terlipat sebagai isi amplop langsung dilebarkan dan dibaca. Salah satu alisnya terangkat sesaat membaca surat itu. Dia dikeluarkan dari sekolah hanya karena menjadi korban fitnah.
Ternyata polisi semalam memberitahu pihak sekolah, sehingga Davira terkena masalah kembali. Padahal sudah dia bilang jika dirinya bukan salah satu member tawuran kemarin.
Davira menarik napas panjang, sepertinya hari ini akan ada kemarahan lagi. Semua gara-gara tawuran kemarin, andai lelaki itu tidak merusak motornya, pasti ia takkan ikut seperti kemarin. Apesnya hidup ini!
Pak Adam menggelengkan kepala, ia mengambil selembar amplop lalu memberinya stempel. Kertas digenggaman Davira dirampas dan dimasukkan kembali agar seperti semula bentuknya.
"Ck! Gara-gara salah paham, jadi buat masalah. Bercabang lagi," keluh Davira yang tak tahan dengan semuanya. Ia bersandar pada kepala kursi, matanya terpejam guna menetralkan perasaan didalam sana yang mulai berkecamuk.
"Dimanapun nanti kamu sekolah, jangan ulangi kesalahan yang sama." peringat Pak Adam.
Wejangaan demi wejangan keluar dari mulut lelaki itu, tapi tak pernah digubris apalagi didengarkan. Gadis itu hanya memperhatikan ruangan bernuansa putih itu, dia ingin segera pergi. Namun, mulut wali kelasnya belum berhenti bergerak.
Bosan, jenuh bercampur jadi satu. Sudah 30 menit keduanya duduk sambil mendengarkan wejangan Pak Adam. Sampai Davira benar-benar berasa tidak. bisa mendengar lagi selain suara merdu gurunya.
Tanpa pamit, Davira langsung beranjak dari duduknya dan berniat keluar. Sampai suara Pak Adam kembali menghentikan langkah kakinya. Dia lalu berbalik, menatap pria itu dengan malas.
"Kamu lupa, ini!" seru Pak Adam sambil mengacung-ngacungkan amplop surat. Benda itu yang membuat Davira sampai ke sini, jadi jangan sampai lupa untuk ditenteng pulang.
Tangan Davira bergerak merebut surat itu dari Pak Adam, lalu memgacungkannya tepat di depan wajah guru yang tak muda lagi. Ia bergegas pergi dari sana. Tujuan selanjutnya adalah ke kelas untuk mengambil tas, lalu pulang untuk menyampaikan surat hadiah dari Pak Adam.
"Eh, Pak. Di meja ada kertas, jangan lupa dibaca, ya. Murid cantik ini mau pulang dan nggak bakal balik lagi. Kalau kangen, telepon aja." ujar Davira.Dia langsung berbalik lagi dan membuka pintu. Amplop tadi dimasukkan ke saku jas agar tidak menjadi bahan perhatian. Tahulah, jika ada sesuatu dari kita maka akan diperhatikan seperti primadona desa.
***
Lelaki yang tadi mencari kertas maksud ucapan Davira sudah duduk dengan lega. Bahunya bersandar di kursi dan tangan membuka kertas yang terlipat itu. Kertas itu terselip di bawah tumpukan map yang membuat adrenalin otak sekaligus raga harus dikuatkan.
Pak Adam sendiri bingung, kapan Davira menulis ini, bukankah sedaritadi mereka berhadapan? Dan Davira tak melakukan aktivitas selama itu. Hanya memantau langit-langit ruangan sambil sesekali bergerak risih.
Pak Adam membukanya, membaca setiap
bait kalimat Davira yang baru ditulis.
By: Me
To: Mr. AdamMaaf ya, Pak. Selama ini davira udah buat Bapak pusing sekaligus repot. Tapi, tenang aja! Kan sekarang Davira udah keluar, jadi nggak ada lagi yang buat otak Bapak terkuras. Oh ya, davira nulis ini saat bapak masih koar-koar, tepatnya di bawah meja.
Disini Davira cuma mau ngucapin makasih sekaligus minta maaf kalau memang pernah buat salah. Tapi, pasti Davira gak punya salah. Kan Davira murid teladan. bin terpelajar, jadi hanya ada kebaikan di dalam jiwa yang bersemayam.
Ya sudah, Pak. Jangan lupa bahagia ya, jangan mikirin Davira terus... Nanti stres lagi. Ehe! Sampai nanti.
Pak Adam tak bisa berkata-kata lagi, ia terharu membaca setiap kalimat yang ditulis Davira. Meski nakal, ternyata gadis itu masih menyimpan misteri dalam dirinya yang tertutup kelakuan yang kurang menyenangkan.
~Bersambung
Next?#Happy Reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Teen FictionMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...