07.Dasar Manusia

151 74 28
                                    

Di kelas sepuluh jurusan IPS, semua murid sibuk mengerjakan tugas dari guru sejarah, siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Namun, ada saja murid yang membuat guru seperti Pak Adam menjadi kesal, ya, seperti Davira.

Gadis itu tidak mengerjakan tugas yang diberikan Pak Adam, ia malah menegakkan buku di depannya dan tidur dibalik buku itu. Kedua tangan dijadikan alas kepala agar tidak berkontak langsung dengan meja.

"Davira, kamu sudah selesai?" Pak
Adam yang sedaritadi memperhatikan
gelagat Davira meneriaki bocah itu. Dia
meninggikan sedikit volume suaranya
karena Davira duduk paling belakang dan
paling pojok, gadis itu hanya duduk sendiri
saja karena tidak ada yang mau berada di
dekatnya. Lagipun jumlah siswa ganjil jadi
pasti ada yang duduk sendiri.

Mendengar namanya dipanggil, Davira membuka mata dan kembali meletakkan buku itu seperti posisi semula; menyimpan di meja dengan posisi baring. Gadis itu memperbaiki rambutnya dan mengusap wajah, untuk memastikan dia benar-benar sudah sadar.

Manik cokelat milik Davira menatap Pak Adam yang duduk santai di meja guru. Dia merutuki guru itu karena sudah mengganggu tidurnya, lagipula pasti Pak Adam sudah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri karena Davira sudah biasa melakukan itu.

Gadis itu memutar bola matanya malas dan menganggukkan kepala saja, dia bohong, tapi tak peduli. Lagipula sudah dipastikan dia akan segera menerima hukuman. Itu pasti!

"Coba saya tanya. Jawaban nomor lima apa?" fokus Pak Adam masih tertuju ke Davira. Murid yang mendengarkan itu ikut menyimak dan menoleh kearah yang ditujui pertanyaan, mereka penasaran apakah Davira akan menjawabnya atau mengelak seperti biasanya.

"Coba, Bapak sebutkan pertanyaannya. Kalau nomor doang, saya nggak tahu. 'Kan dibuku banyak nomor lima." cecar Davira balik menatap guru sejarah itu.

"Katanya sudah, berarti kamu tahu, dong, soal yang saya tugaskan tadi." kening Pak Adam mengerut, bingung dengan siswi yang satu ini.

"Iya, saya tahu soalnya, Bapak ganteng. Tapi, kalau mau nanya itu yang jelas. Jangan cuma sebutin nomor aja, tapi bacain juga soalnya. 'kan biar saya langsung jawab. Gitu!" seru Davira yang mendapati kekehan dari murid-murid karena kata 'Bapak ganteng' yang barusan dilontarkannya.

Pak Adam menghembuskan napasnya kasar, ia harus ingat jika harus bersabar menghadapi gadis ini. Pak Adam lalu membacakan soalnya yang didengar seksama semuanya, Davira juga turut fokus dengan kalimat yang dilontarkan Pak Adam.

"Jadi, Davira, sebutkan jenis-jenis manusia purba Homo Sapiens?" Pak Adam mengulang pertanyaannya. Ia menekan setiap kata yang dibaca agar bisa didengar jelas oleh semuanya terutama orang yang dituju.

Davira tampak berpikir untuk menjawab pertanyaan tadi, ia sudah mempelajari itu sebelumnya, tapi, kenapa memori otaknya tidak bisa mengingat pelajaran itu? Terlintas ide cemerlang di kepala gadis itu. Dia akan menjawabnya, tapi dengan bantuan Pak Adam.

"Mana saya tahu, Pak. Wong, saya nggak hidup dijaman itu. Lagipula, emang ada manusia purba yang homo?" celoteh Davira yang mendapat gelak tawa dari warga kelas, sedang Pak Adam menggelengkan kepalanya; frustasi.

Bagaimana bisa Davira selalu mengelak saat diberi pertanyaan? Gadis itu benar-benar membuat emosi naik-turun, mungkin jika Davira berhadapan dengan guru lain akan beda reaksinya. Seperti dulu saat Bu Aidah yang mengajar di kelas Davira, wanita itu keluar paksa karena kelakuan Davira yang tidak bisa diajak kompromi.

"Davira, bapak tanya sekali lagi sama kamu. Kamu ngerjain tugas yang bapak kasih tadi atau nggak?" Pak Adam masih mencoba untuk tenang, ia tak boleh emosi menghadapi orang seperti Davira. Api dibalas api hanya akan mengakibatkan kebakaran besar saja, maka dari itu api akan dibalas dengan air mengalir akan menciptakan suasana sejuk.

Davira nyengir kuda lalu mengangkat jari telunjuk dan tengah secara bersamaan, membentuk tanda peace untuk damai. Warga kelas yang melihat itu kembali tertawa sambil geleng-geleng kepala.

***

Disinilah Davira sekarang, ditemani sapu, pel, dan juga lap kaca. Gadis itu kembali dihukum karena kenakalannya, siapa suruh tidak mengerjakan tugas dan berbohong. Pak Adam sudah meninggalkan Davira karena masih ada jam pelajarannya, maka dari itu ia ditinggalkan bersama dengan Ibu Aidah, guru Seni budaya sekaligus guru BK.

Guru cantik itu sudah menolak permintaan Pak Adam dengan alasan dia juga memiliki jam pelajaran, tetapi lelaki itu merayunya dan minta dengan tulus. Pak Adam tahu betul jika Bu Aidah bohong, itu karena dia hanya tidak ingin berurusan dengan Davira.

"Bu," panggil Davira dengan suara yang sengaja dikeraskan. Dia masih sibuk dengan lantai yang dipel, sesekali juga berhenti karena merasa lelah sekaligus haus.

"Hm." deheman Bu Aidah menjawab panggilan Davira, matanya fokus ke ponsel yang berada di genggaman, kakinya berselonjoran sambil bersandar di tembok mushola.

"Bantuin napa, Bu. 'Kan dua lebih baik daripada satu, lagian ini masih banyak. Kata Pak Adam, bersihin mushola itu. dapat pahala, loh, Bu. Mending Ibu bantuin saya. daripada main HP aja gak ada gunanya," cerocos Davira. Posisinya masih memaju-mundurkan pel yang berada digenggaman.

Bu Aidah mendengus mendengar ucapan Davira, gadis itu cerewet sekali dan suka mengganggu ketenangan hidupnya. Dia menyesal karena sudah menerima permintaan Pak Adam. Wanita muda itu beranjak dari duduknya, ia menyilangkan tangan di depan dada dan matanya. menatap sinis Davira.

"Sebaiknya saya nggak perlu bantuin, kalau kamu kerjain semua 'kan pahalanya banyak. Nah, itu bisa menjadi catatan baik untuk kamu, daripada yang dicatat kenakalannya terus, 'kan gak lucu." Sindiran dari Bu Aidah hanya membuat kepala Davira manggut-manggut saja, gadis itu seperti tak peduli dengan kalimat barusan yang ditujukan untuknya.

Dia kembali mengerjakan hukumannya, sedangkan Bu Aidah kembali dengan ponsel ditangannya. Soundtrack film yang sedang ditonton terdengar sampai ke telinga Davira. Bagaimana tidak? Volume suara hampir full, membuat siapapun yang berada disekitar sana pasti mendengarnya.

Davira mulai tak fokus dengan kerjaannya karena suara dari benda pipih milik Bu Aidah, lagu itu mengganggu moodnya. Selesai mengepel lantai, tugasnya tinggal mengelap kaca yang tampak berdebu. Gerakan tangan mungilnya seperti tak bersemangat, tapi dia melakukan dengan cepat.

"Kumenangis ... membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku." suara Davira mengikuti sepenggal lirik lagu yang menjadi OST dalam film yang ditonton Bu Aidah. Dia melirik ke arah guru BK itu yang matanya mulai berembun, sepertinya ia baper. Bahkan, suara Davira tadi sepertinya tidak mengurangi kefokusannya.

Yaelah bu.Itu cuma akting doang gak beneran.Lagian saya heran, kok, Bu Aidah suka nonton gituan, sih? Ibu 'kan gak punya suami." celotehan Davira membuat mata yang tadinya berair berubah menjadi membelalak marah. Bu Aidah yang tadinya tidak ingin perduli menjadi emosi karena ucapan terakhir Davira. Itu bermaksud menyindir atau hanya ingin menyadarkan Bu Aidah?

"Kamu itu punya sopan santun gak, sih? Ngomong sama orang yang lebih tua aja gak pake etika. Saya yakin, pasti tidak ada yang menyayangi kamu karena sikap kamu itu. Pantas saja tidak ada murid di sini yang mau berteman sama kamu. Apa orang tua kamu gak pernah ngajarin beretika?"

Suara Bu Aidah bergetar menahan amarah, ia berdiri dan menunjuk kearah Davira yang berhenti melakukan aktivitasnya. Sedang gadis itu menatapnya tajam. Davira lalu berjalan mendekati Bu Aidah yang sudah tersulut emosi, tangannya terkepal kuat menahan gejolak didalam sana.

Davira menyunggingkan senyuman miring, wajah cantiknya yang penuh luka karena perkelahian semalam tidak mengurangi kemolekannya sedikitpun.

"Davira!" teriakan Bu Aidah bersamaan dengan kaca jendela yang pecah akibat pukulan Davira, ia melampiaskan amarahnya pada kaca yang menjadi saksi ulah Davira.

Langkahnya berlalu pergi meninggalkan Bu Aidah yang masih mematung di tempatnya. Dia benar-benar marah sekarang, apalagi guru cantik itu menyebut kata 'orang tua', yang bagi Davira tidak pantas untuk dibahas. Apa yang dikatakan Bu Aidah tadi? Davira tidak tahu sopan santun? Ya, Davira akui itu, tapi tidak seharusnya menyebut semua kalimat yang menyakitkan itu 'kan?

Tangan Davira berlumuran darah karena terkena beling dari kaca tadi, tapi sakitnya tidak seberapa dibanding sakit hatinya. Ia tak berniat untuk mengobati luka itu, biarkan saja, nanti juga sembuh sendiri. Dia melangkah tanpa tujuan, ia hanya ingin menenangkan diri sebentar saja.

~Bersambung
#Happy Reading Guys!

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang