Bau obat-obat menjadi aroma khas di UKS, membuat siapapun tidak betah berlama-lama berada didalamnya. Sama halnya dengan Davira, mengeluh sekaligus bingung karena dibawa ke tempat ini.
Dia sudah duduk di ranjang, menunggu Bu Sulas yang entah kemana. Tadi, ia hanya menyuruh gadis itu untuk menunggu, dan dilarang untuk keluyuran. Davira menurut, meski ada perdebatan kecil antara dirinya dengan guru agama yang membawanya kemari.
Tak lama kemudian, Bu Sulas datang dengan membawa kotak obat. Ia berdiri tepat dihadapan Davira dan meletakkan kotak obat tepat disamping Davira. Tangannya bergerak membuka kotak obat, dan mengambil alkohol yang kemudian dituang ke kapas.
Tangannya mulai mendekat ke wajah Davira, tapi langsung ditahan oleh gadis itu dengan cara memundurkan kepalanya.
"Mau ngapain?" tanya Davira yang mulai was-was. Raut wajahnya berubah serius bercampur bingung dengan tindakan wanita cantik ini.
"Menurutmu?" tanpa menjawab, Bu sulas malah balik bertanya dan menarik lengan Davira agar tidak menjauh darinya.
Kapas yang dibasahi oleh alkohol tadi menempel disudut bibir Davira yang lukanya kentara, dan juga ditempelkan dibagian wajah yang masih lebam. Davira meringis merasakan sensasinya, tak hentinya tangan kanan menahan pergerakan tangan Bu Sulas yang berusaha mengobati.
"Auh, sakit tahu, Bu. Pelan-pelan napa." protes Davira disela ringisan karena sakit. Ia baru tahu ternyata wajahnya masih sakit jika disentuh, ini semua karena Ayahnya yang menampar pipi chubby-nya semalam. la jadi menderita seperti ini.
"Seperti ini, kok, bilang sakit? Tapi, kalau berantem nggak pernah bilang sakit." itu semacam sindiran halus untuk Davira. Gadis itu memanyunkan bibirnya karena kesal, tapi sedetik kemudian berdecih karena kalimat Bu Sulas tadi.
Jika diobati seperti ini rasanya lebih sakit daripada beradu otot dengan orang lain, sebab berkelahi itu menyenangkan, sedangkan diobati itu menyengsarakan lebam di wajah.
Tiga puluh menit lamanya mereka berdua di UKS, dan selama itu pula Davira meringis menahan perih akibat kapas yang menempel di wajahnya. Setelah itu, Bu Sulas pamit untuk kembali ke kelas, Davira juga diajak, tapi gadis itu menolak karena alasan sakit kepala.
***
Ratu jalanan kembali beraksi, kali ini lebih cepat dari biasanya. Suara knalpot bising sekaligus lajunya yang selalu menyelip mengganggu pengendara lain, tapi dia tak peduli.Hari ini, jalanan itu kembali macet, tidak seperti biasanya. Namun, si pengendara motor matic hitam itu tidak merasakan sensasi terkena macet karena hobinya yang suka menyelip tanpa memerdulikan keadaan jalanan yang padat oleh kendaraan.
Kelakuan Davira membuat mereka yang terjebak macet marah, adapula yang iri karena tidak bisa seperti Davira yang bebas dari macet.
Setelah jauh dari jalanan yang padat, dan sudah aman oleh orang-orang yang sempat meneriakinya, Davira memberhentikan motornya di bahu jalanan, ia ingin mampir ke warung untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.
Motor dimatikan, dan helm full face miliknya disimpan di kaca spion. Kakinya melangkah menuju warung yang tak jauh dari sana, dia melihat berbagai macam jajanan yang dijajakan, dan sepertinya juga menjual makanan cepat saji.
"Bu, mie gorengnya satu," ucap Davira yang sudah duduk di bangku depan. Tangannya menarik snack yang tergantung tepat disamping kanan, ia juga mengambil beberapa snack yang sama.
Namun, itu bukan untuk dirinya saja, tapi untuk bocah yang sedang mengais tempat sampah tak jauh dari tempatnya. Rasa iba muncul seketika saat melihat bocah yang seharusnya menikmati masa kecil malah mencari rezeki untuk bertahan hidup.
"Bu, ntar saya balik lagi. Sekalian untuk bayar ini." penjaga warung mengangguk setelah melihat ke arah Davira.
Gadis itu segera melesat dan menghampiri anak kecil yang masih sibuk memasukkan botol bekas ke dalam karung. Terlihat jika bocah itu sudah lelah, tapi tidak menyurutkan semangatnya untuk terus mengais sampah-sampah yang bisa memberinya uang.
"Hey," sapa Davira sambil menepuk pundak bocah itu, ia sedikit membungkuk saat bocah itu menoleh dan melihat ke arahnya. Senyum manis tak luput dari wajah manis milik Davira, membuat bocah laki-laki itu tampak bingung.
"Kakak siapa?" pertanyaan bocah laki-laki itu tak langsung dijawab oleh Davira. Gadis itu hanya langsung menyerahkan kantong plastik jumbo yang didalamnya terdapat beberapa snack dan air mineral, ia juga menyelipkan uang di dalam sana untuk sekedar membantu pemulung cilik itu.
"Kamu cepat pulang, ya, disini panas banget soalnya. Nanti kamu sakit lagi." ujar Davira masih tetap tersenyum. Dia lalu mengayunkan langkahnya pergi dari tempat itu. Sedangkan bocah laki-laki tadi masih terdiam memperhatikan kepergian Davira.
Aroma mie goreng yang sedap semakin menggoda perut Davira. Tanpa menunggu lama lagi, ia langsung melahap makanan itu, bahkan mengucap bismillah saja tidak dilakukannya.
Davira suka membantu, menolong, dan memperhatikan orang lain, tapi ke diri sendiri tidak sayang. Selalu saja membuat tanda-tanda berwarna biru di wajah dan tubuhnya. Dia sendiri heran kenapa bisa sebaik itu ke orang lain, tapi jika dibiarkan dia akan merasa sedih. Maka dari itu, Davira yakin jikalau ia masih punya hati dan perasaan, tapi bukan untuk orang terdekatnya!
Selepas membayar semua jajanannya, Davira memilih duduk sejenak. Diperhatikan jalanan yang mulai sepi kendaraan sambil meneguk minuman cincau. Tak berapa lama, tibalah banyak orang yang berkerumun.
Mereka tawuran di jalanan itu, tepat didekat dimana motor Davira terparkir. Alhasil, motor kesayangan Davira menjadi korban dari perkelahian mereka. Tak terima motornya jadi korban, Davira langsung menghajar siapa saja didalam kerumunan itu, tak peduli bersalah atau tidak.
Serangan membabi buta dilayangkan ke orang-orang yang sedang mengadu kekuatan. Sudah banyak yang terkapar dan memilih menjauh dari sana karena luka dari Davira, tapi masih ada beberapa orang yang bertahan untuk menghabisi satu sama lain.
Sirine polisi langsung menghentikan perkelahian mereka, dan juga membubarkan kerumunan itu. Hanya Davira yang tetap bertahan di sana, sendirian. Orang-orang yang tawuran tadi sudah lari terbirit-birit, pasti karena takut.
Polisi yang lain mengejar mereka yang lari, sedang Davira sudah ditahan oleh salah satu polisi. Davira santai saja, karena tidak bersalah. Ia hanya membela motornya yang dirusak orang-orang tidak bertanggung jawab itu, lagian ia juga masih ingat ajaran seseorang untuk tidak lari dari masalah.
"Cewek, kok, ikut tawuran?" sudah berkali-kali Pak polisi mengucapkan itu, padahal Davira sudah menjelaskan semuanya. Namun, tetap dianggap berbohong.
"Jadi orang, kok, ngeyel banget, sih, Pak? Saya kan udah bilang, kalau saya nggak ikut tawuran!" karena kesal terus dituding yang tidak-tidak, Davira memekik dengan emosi yang meluap-luap.
Davira terus membela diri, dan Pak polisi selalu mengatakan kenyataan yang ada di depannya saat ini. Mereka berdua terus saja beradu argumen. Davira tak terima jika disalahkan seperti ini, karena ia hanya ingin memberi pelajaran pada mereka yang sudah berani menghancurkan motornya.
Perdebatan keduanya terhenti, karena polisi yang lain sudah kembali tanpa menangkap satupun para pelaku tawuran. Dan mereka kembali ke kantor polisi dengan membawa serta Davira, tanpa pemberontakan dari gadis itu. Motor Davira juga dibawa ke bengkel atas permintaannya, dengan alasan nanti dimarahi orangtua jika tak segera diperbaiki.
~Bersambung
Next?#Happy Reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Teen FictionMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...