38.Pergi, Lagi

45 20 20
                                    

𝗛𝗮𝗽𝗽𝘆 𝗥𝗲𝗮𝗱𝗶𝗻𝗴<𝟯

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, hari ini Davira dan dua orang lainnya akan kembali lagi ke pondok guna melanjutkan pelajaran yang sempat terhwnti karena liburan. Meski rasa ingin tinggal di rumah masih ada tapi, hal itu harus dikesampingkan untuk meraih gelar santriwati sejati sebagai hadiah untuk sang Ibu.

Ketiganya akan berangkat sore nanti, mengingat perjalanan mereka cukup jauh dan akan sampai nanti malam. Kebwtulan, hari ini ada hajatan di kampung sebelah dan Umah diundang sebagai pengisi acara dengan memberikan siraman rohani.

Zahran yang sebagai lelaki sejati siap mengantar Umah ke tempat tersebut, itu membuat Davira ingin ikut bersama mereka. Bukan karena ingin melihat Umah, tapi memanfaatkan kesempatan agar bisa dekat dengan Zahran. Namun, tanpa disangka ternyata ustadzah Nada juga ikut dengan mereka.

Ia akan menjadi pembawa tausiah untuk remaja-remaja yang akan dilakukan di salah aatu masjid di kampung tetangga juga, dimana Umah akan pergi. Hanya saja tempatnya bertausiah beda dengan Umah, ia akan berdakwah di salah satu masjid tempat dimana para remaja masjid berkumpul.

"Ma, vira boleh nggak kalau nggak lanjut sekolah?" tanya Davira yang sedang membantu Umah bersiap. Mereka berada di dalam kamar Umah dimana keduanya akan di make over oleh diri masing-masing.

Tidak ada yang memakai riasan tebal atau berlebihan, hanya pelembab dan menggunakan hijab syar'i seperti biasanya. Tadi, Davira sempat menjahili wajahnya sendirir dengan menggunakan lipstik merah cerah lalu bedak yang sangat tebal, jangan lupakan merah pipi yang begitu merah seperti bekas tamparan.

Untung saja make-up itu tidak mudah dihapus, membuat sang empunya wajah merasa cemas sendiri; cemas jika ada yang melihatnya selain Umah apalagi itu Zahran, bisa rusak imagenya sebagai wanita cantik natural.

Namun, itu tidak berlangsung lama sebab Umah masih memiliki pembersih make-up yang ampuh, membuat wajah menjadi kembali ke bentuk semula dimana tidak ada polesan dari produk kecantikan. Davira bergidik ngeri jika membayangkan dirinya yang setiap hari memakai riasan tebal, ih... menyeramkan.

Pikiran Davira mulai travelling kemana-mana, membayangkan saat bertemu dengan soraang wanita yang wajahnya penuh polesan bahkan ada yang sampai warna wajah tidak sama dengan warna tubuh. Mengerikan. Itu bukan hanya ada dipikiran saja, tapi ia benar-benar pernah bertemu dengan perempuan seperti itu saat masih di kota dulu.

"Nggak boleh! Lu harus balik ke pondok, atau hidup Lu gak bakal tenang di sini!"

Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan keduanya. Pandangan dialihkan ke pintu dimana suara itu berasal, tampak Devan bersender di pintu dengan tangan yang dilipat depan dada. Wajahnya yang begitu tampan dengan santai menjawab pertanyaan yang tidak ditujukan untuknya.

Davira mendelik mendapati Abang kesayangan mencerocos begitu saja tanpa meminta izin lebih dulu, bahkan mengucap salam tidak. Ia heran masih ada makhluk seperti Abangnya di dunia ini, dirinya saja tidak terlalu nakal seperti itu. Iya 'kan?

"Devan? Sejak kapan kamu disitu? Kalau mau masuk ke kamar orang itu harus ngucap salan dulu, atau permisi. Jangan main nyerocos aja," tutur Umah yang keningnya berkerut saat melihat ke pintu dimana putranya berdiri.

"Mampus Lu, Bang. Haha!" sepertinya keberuntungan berada dipihak Davira, membuat gadis itu tertawa jahat.

Devan sebagai pelaku hanya mampu menyengir lalu masuk ke kamar Umah setelah mengucap salam lebih dulu. Didudukkannya bokong di atas kasur dekat Davira dambil mengambil salah satu lipbalm milik Umah yang ada di tas make-up.

Dengan cekatan, lipbalm berwarna cerry
sudah digunakannya.

"Ebuset, cowok, kok, pake lipstik?" Davira bertanya heran.

Dia saja yang cewek tulen tidak selincah itu saat mengoles lipbalm. Namun, kata 'lipstick' membuat Devan tertawa. Terlihat sekali jika Davira tidak tahu banyak mengenai produk seperti itu.

"Ini lipbalm, dodol. Lipbalm itu buat melembabkan, beda sama lipstick!" Devan menjelaskan

"Serah gue, dong." tidak bisa melawan lagi, makanya kalimat itu dilontarkan.

"Cie... yang lagi mikir ini namanya apa. Hahaha!" Devan kembali tertawa saat menunujkkan lipbalm. Ia mengembalikan benda itu ke tempatnya lalu berdiri, bersiap untuk keluar dari kamar Umah.

Ternyata, ia ada di sana hanya untuk memberitahu jika semuanya sudah siap dan tinggal menunggu dua orang yang masih berdandan ini. Davira tidak heran lagi, karenaa mungkin Devan juga akan ikut serta dengan mereka.

Davira melangkah keluar dari kamar, mengikuti Umah yang sudah siap sedia. Sesampainya di halaman, tampak mobil hitam yang selalu menjadi kendaraan selama ia di sini. Pengemudinya juga orang yang sama seperti biasa, ia dapat melihatnya karena kaca jendela yang diturunkan.

Langkah seribu menjadi andalannya saat melihat kursi dekat pengemudi kosong, ini kesempatan untuk duduk bersanding dengan Zahran lagi. Hitung-hitung untuk simulasi sebelum duduk di kursi pelaminan 'kan?

Untung saja tidak ada yang mencegah, lebih tepatnya Davira yang tidak ingin dicegah. Bokongnya sudah mendarat mulus di kursi depan, dengan wajah yang dihiasi senyum penuh arti. Ustadzah Nada yang memang sudah ada di mobil, hanya mampu geleng kepala sambil mengucap istighfar.

"Vi, duduk dekat Mama, gih, biar abang yang di depan." orang itu lagi. Sepertinya hari ini adalah hari yang mengesalkan. Abang Devan selalu datang menengahi kebahagiaan Davira.

Tadi, di kamar Umah diledek karena perkara lipbalm yang dianggap lipstick, sekarang masalah tempat duduk. Padahal di belakang masih longar, lebih luas lagi. Apa ini ada hubungannya dengan syariat islam lagi? Ah tidak!

"Zahran bukan mahram kamu, jadi nggak boleh dekat-dekat. Kamu harus duduk di belakang, atau nggak bakal ikut ke kajian." ngancam aja terus, menyebalkan.

Davira sudah mendengar kalimat itu berkali-kali dari mulut orang berbeda, tapi saat Devan yang bilang rasanya aneh. la merasa takut, ah, entahlah itu tidak bisa dijelaskan. Intinya ia seperti tidak bisa menolak perkataan Devan.

"Bawel." meski tidak ikhlas, Davira tetap pindah ke belakang, membiarkan Devan menempati kursi yang beru saja didudukinya beberapa menit yang lalu.

***

Akhirnya sampai juga di tempat tujuan, puji syukur dipanjatkan karena sampai dengan selamat dan juga jalanan yang masih beroperasi dengan baik tanpa adanya macet. Ini bukan kota besar yang gampang macet, tapi ini hanyalah desa dengan penduduk yang ramah terhadap lingkungan.

Pemakaian kendaraan yang memakai knalpot seakan dibatasi agar udara tetap segar, dan juga agar polusi tidak menumpuk. Buktinya banyak memilih bersepeda sebagai kendaraan, ada juga yang berjalan kaki karena mungkin jaraknya memang dekat.

Semua warga dalam mobil turun, berjalan bersama memasuki acara yang akan diisi kajian Umah, ustadzah Nada sendiri sudah turun duluan di masjid depan.

Hiasan yang menempel di dinding rumah dengan tenda biru yang terpasang di halaman rumah membuat Davira tahu bahwa ini adalah acara pernikahan. Argumennya semakin kuat saat dua kursi berwarna putih dengan bentuk yang mewah berdiri kokoh di atas panggung.

~Bersambung

𝗗𝗲𝘃𝗮𝗻[𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝗗𝗮𝘃𝗶𝗿𝗮]
𝟭𝟵𝘁𝗵

                    𝗗𝗲𝘃𝗮𝗻[𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝗗𝗮𝘃𝗶𝗿𝗮]                                𝟭𝟵𝘁𝗵

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝗦𝗲𝗲 𝘆𝗼𝘂 𝗻𝗲𝘅𝘁 𝘁𝗶𝗺𝗲<𝟯

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang