05.Keluarga

176 81 21
                                    

Matahari mulai beranjak dari tempatnya, warna langit juga mulai berubah menandakan akan datangnya sore. Davira masih berada di perjalan menuju ke rumah. Gara-gara berhadapan dengan ketiga preman tadi, waktunya jadi terbuang banyak.

Senyuman terukir di bibir tipisnya saat mengingat kejadian tadi siang di pasar, ada perasaan bahagia bercampur haru di dalam sana; hati. Dia tahu ketiga orang itu menjadi preman karena tuntutan ekonomi. Mungkin mereka tidak diterima bekerja dimanapun hingga memilih jalan yang salah.

Davira mulai merencanakan untuk beraksi lagi, kaca helm ia tutup lalu mulai menarik gas. Motor, mobil, hingga angkutan umum berhasil disalip tanpa terkena atau oleng. Bahkan, beberapa polisi sempat mengejarnya tapi, tidak bisa menghadang Davira karena kecepatannya yang sudah melampaui batas.

Saat bus yang ada di depan disalip, ia sedikit oleng karena ada kendaraan dari arah yang berlawanan dengan ukuran seperti bus juga. Untung saja skill-nya dalam bermotor terbilang lumayan.

Tidak butuh waktu lama akhirnya Davira sampai di rumah dengan selamat, alhamdulillah. Motor diparkir di halaman rumah, ia membuka bagasi motor dan mengambil belanjaannya, yang berada bergelantung di depan tempat duduk juga diambil.

"Tadaima!" Davira berteriak saat berada di ambang pintu, Bi Inah datang menyambut kedatangan Davira. Gadis ini kebiasaan sekali kalau pulang tidak mengucap salam, malah mencontoh yang ada difilm anime produksi Negeri Sakura.

"Tadaima itu apaan, Non?" Bi Inah yang penasaran dengan artinya bertanya ke pemilik kalimat. Mereka sedang berjalan menuju dapur untuk menyimpan belanjaan yang dibawa Davira.

"Tadaima itu artinya aku pulang, Bi. Vira pintar 'kan?" jawab Davira yang diselingi pujian untuk diri sendiri, jangan lupa senyum kebanggaannya ikut mengembang yang diperlihatkan ke Bi Inah.

Perempuan yang berumur 30-an itu hanya mengangguk saja mengiyakan pertanyaan Davira. Dia sudah terbiasa dengan sikap kekanak-kanakan yang melekat dalam diri gadis itu, hatinya pun merasa senang karena bisa akrab dengan gadis itu.

Menurut Bi Inah, Davira itu anak yang baik, meski sering berbuat onar atau ke club tapi, itu hanya untuk menutup semua kelembutan dan kebaikan yang ada didalam dirinya. Bi Inah juga tahu, Davira tidak pernah minum alkohol ataupun minuman keras lainnya, gadis itu hanya ke club untuk menghibur diri.

Bi Inah bisa tahu karena napas Davira tidak berbau alkohol dan juga tidak ada tanda-tanda jika dia sudah minum, lagian kalau Davira macam-macam di club, bukankah dia akan membawa kebiasaan itu ke rumah dengan membawa miras?

"Bi, udah mau masak ya?" tanya Davira sambil mengunyah keripik kentang. Ia sangat suka makan camilan apalagi ditemani kopi instan favoritnya, serasa berada di taman makanan.

"Bibi masaknya bentar lagi, Non. Emang kenapa? Non udah lapar, ya?" jawab Bi Inah dengan lembut. Perempuan itu masih sibuk mencuci sayuran yang tadi dibeli Davira.

"Vira mau bantuin masak, boleh?" Davira mengungkapkan keinginannya ke wanita yang berada di depan wastafel itu.

"Boleh, kok."

"Yeay. Bibi nggak perlu manggil vira dengan sebutan non lagi ya, soalnya, mulai sekarang Bibi guru belajar, vira." pinta Davira sambil tersenyum meyakinkan.

Bi Inah langsung berbalik mendengar penuturan Davira. Bagaimana bisa ia lakukan itu? Sedangkan Vira itu majikannya. Dan tunggu, kalau memang Davira ingin belajar masak kenapa harus dengan Bi Inah? Kenapa bukan ke yang lebih ahli, yang biasa disebut, Chef.

"Tapi, Non. Bi--" Bi Inah hendak protes, tapi ditahan oleh Davira.

"Davira ngomong seperti ini atas keinginan vira sendiri kok, Bi. Nggak usah takut sama papa atau mama kalau tahu, 'kan ada Vira. Ini keputusan vira, jadi nggak bisa diganggu gugat lagi. Titik, gak pake bantahan."

Cerca Davira dengan tangan yaang menari di udara. Bi Inah hanya mengangguk paham, lalu melemparkan senyum hangat yang disukai Davira. Baginya, senyum Bi Inah itu menenangkan, meski hanya ART di sini tapi, ia menganggap Bi Inah seperti orang yang sudah melahirkannya.

***

Bi Inah dan Davira masih bertempur dengan alat-alat dapur. Senior dan pemula itu mengerjakan bagian masing-masing, tapi, sebelum Davira mengerjakannya ia sudah diajarkan oleh Bi Inah.

Gadis SMA itu tiba-tiba saja ingin belajar memasak, katanya ingin menjadi wanita yang mandiri dan tidak menyusahkan orang lagi. Meski kenyataanya banyak yang merasa disusahkan oleh Davira.

Acara masak-memasak berlangsung penuh drama, Davira yang kerap kali berbuat konyol mampu membuat Bi Inah tertawa. Davira juga tak berhenti bernyanyi saat gilirannya mendapat jatah menggoreng ayam. Spatula yang dipakai membalik gorengan, dijadikan sebuah mic.

"Non, jangan nyanyi di dapur. Nanti jodohnya kakek-kakek, loh," tutur Bi Inah yang masih sibuk dengan ulekan yang penuh cabai. Di daerahnya, memang ada larangan untuk bernyanyi di dapur terlebih lagi di depan kompor, mitosnya akan mendapat suami yang umurnya lebih tua nanti. Padahal itu tidak bisa dicerna oleh akal sehat. Apa hubungannya kompor dengan jodoh?

"Yaelah, Bi. vira 'kan udah bilang. Panggil aja nama vira tanpa embel-embel, Non." Davira protes dengan sebutan yang Bi Inah tujukan untuknya. Padahal sebelum itu dia sudah bilang jika tidak ingin dipanggil dengan sebutan Non, dipanggil namanya saja sudah cukup.

Bi Inah hanya menyengir sambil mengucapkan maaf. Tak lupa tangannya diangkat membentuk huruf V sebagai tanda damai, itu diajarkan Davira. Bi Inah kembali mengulek cabai, dan Davira masih belum berhenti bernyanyi. Peringatan Bi Inah tak dihiraukan dan melanjutkan nyanyian yang tertunda.

Bagi Davira, itu hanya mitos belaka yang diciptakan masyarakat. Dia termasuk manusia yang mengedepankan akal sehat daripada mitos yang beredar luas. Larangan tentang bernyanyi di dapur itu pasti karena para orang tua tidak ingin air dari mulut terciprat ke masakan.

Bi Inah yang menyaksikan kelakuan Davira hanya tersenyum bahagia, jangan lupa kepalanya yang menggeleng pelan melihat kelakuan Davira. Dia harap, ini akan menjadi awal baru untuk dia dan Davira bisa saling memahami dan menjadi akrab.

Wanita paruh baya itu sebenarnya sudah bekerja di rumah Davira sejak berumur masih muda, 20 tahun. Namun, dia baru mulai bermain dengan Davira baru-baru ini karena kerenggangan yang terjadi di keluarga gadis pembuat onar itu.

"Bi, ini udah siap. Apalagi yang bisa vira lakuin?" kata Davira yang masih meniriskan ayam di atas wajan. Tangannya yang satu bergerak mematikan kompor dengan memutar knopnya. Setelah semuanya selesai, dia beranjak dan menuju ke Bi Inah sambil membawa piring yang berisi ayam yang telah matang sempurna.

"Udah, kok, ini tinggal dihidangkan aja." jawab Bi Inah. Dikedua tangannya sudah terdapat ayam dan sambal yang siap untuk dibawa ke meja makan. Davira juga membantu mengangkat beberapa makanan yang tinggal di santap saja.

"Bi, vira mau panggil yang di luar dulu, ya!" Davira sudah berlari keluar rumah, jadi dia hanya berteriak agar suaranya terdengar Bi Inah.

Tak butuh waktu lama, ketiga pria yang berada diluar tadi kini sudah berada di meja makan bergabung dengan Davira dan Bi Inah. Bagi gadis bermanik cokelat itu ini seperti sebuah keluarga, lebih tepatnya ini adalah keluarga. Ada pria dan wanita yang memiliki umur sama dengan orang tuanya, dan juga dirinya sebagai anak.

Jika memang Ayah, dan juga Ibu tidak bisa meluangkan sedikit waktu untuk memberi perhatian kepada Davira, baginya itu tidak masalah. Sekarang, sudah ada orang yang seperti mengganti posisi mereka berdua. Davira tahu kalau orangtuanya bekerja untuk dirinya, tapi dia tidak ingin diabaikan seperti ini hanya karena uang saja.

Memang materi diperlukan, tapi sekarang Davira hanya butuh sentuhan kasih sayang seperti dulu lagi. Dia tidak menyangka jika demi uang, orang tuanya berpaling dan seperti tak menganggap keberadaannya. Sungguh tragis!

Next?

#MAAF AUTHOR LAGI SIBUK BANGET, BANYAK TUGAS SEKOLAH HEHE, JADI LAMA UPDATE🙏

#HAPPY READING!

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang