45.Menuju Akhir

57 13 0
                                    

Sang pria terus saja menatap ponselnya dan mengabaikan dessert yang tinggal setengahnya lagi. Dia sedang menunggu pesan dari seseorang, seseorang yang membuatanya tidak bisa menemui putrinya.

Rupanya ekspresi pria itu dapat ditangkap jelas oleh wanita yang ada di sampingnya. Dia sama seperti suaminya, mengkhawatirkan gadis yang berada dalam ruang inap tetapi, jika kecemasannya diperlihatkan, maka suasana akan lebih berbeda dari sekarang.

Dengan lembut diusapnya lengan pria yang masih setia menatap ponsel yang hanya menampakkan layar hitam.

"Mas, gimana kalau kita ke ruangan davira aja?" usul wanita yang tak lain adalah istri sah dari pria tersebut. Pernikahan mereka sudah berjalan hampir sebulan, tetapi belum berbulan madu layaknya pengantin yang lain.

Selain Jadwal kerja yang padat, dia juga tidak ingin membuang sejumlah uang hanya untuk kebahagiaan seperti itu.

"Yaudan, ayo!"

***

"Ngapain kamu ke sini?"

Tepat di depan pintu ruangan Davira, Umah dan Haris--mantan suaminya--berpapasan. Sayangnya, itu tidak menjadi pertemuan yang baik antar dua belah pihak. Haris yang awalnya memang ingin menemui Davira memilih mengalah dan bersikap bijak.

"Aku capek, Ika. Aku tidak ingin bertengkar. Tolong izinkan aku menemui putriku," ucap Haris mengiba. Tatapan matanya meneduh, tidak seperti penerkam saat bergumul dengan anaknya sendiri tadi pagi.

"Jangan panggil aku dengan nama itu lagi! Dan, sejak kapan ada manusia berbentuk Ayah sepertimu? Hah?!"

Rupanya Umah masih emosi, bahkan nada suaranya meninggi memancing orang-orang sekitar sana menoleh.

Suasana semakin rumit saja, sampai-sampai Devan keluar dan menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya di depan pintu. Untung saja Davira sudah tidur, kalau tidak bisa dipastikan gadis itu akan sedih.

Dengan tergesa, Devan mendekati keduanya. Mengambil tempat tepat di tengah, membuat jarak Umah dan Ayah menjadi lebih jauh.

"Ma, izinin Papa masuk, ya." ucap Devan berbalik pada Umah dan membelakangi Ayahnya, "Please!" kini, dia berlutut sambil memegang kedua tangan Ibunya.

Para manusia yang ada di sekitar mereka menatap seolah-olah sedang ada drama sinetron siaran langsung. Bahkan, ada beberapa yang pura-pura berjalan dekat mereka hanya untuk melihat lebih jelas tentang apa yang terjadi.

Tanpa menjawab, Umah melenggang masuk ke kamar Davira meninggalkan Devan dan Haris yang diam mematung menyaksikan reaksi sangat tidak nyaman.

Devan berdiri, menghadap Ayahnya dan mempersilahkan masuk, dengan syarat tidak boleh membuat keributan. Hanya dengan anggukan akhirnya Haris bisa memasuki kamar yang ada di depan mata, jangan lupa tangannya yang digandeng oleh Istri tercinta.

Matanya terpejam, tetapi suara napasnya seakan-akan menceritakan betapa damainya tidur seorang Davira. Perlahan, air mata Haris luruh membasahi telapak tangan Davira dalam genggamannya.

Penyesalan terus menggerogoti lubuk hati sampai paling dalam, benar-benar perbuatan memalukan.

"Vira udah maafin, Papa, kok, tenang aja," kata Devan menenangkan pria itu.

Umah hanya duduk di sofa menatap sampai membuat Davira merasa tidak nyaman.

pergerakan Anaknya, juga Haris jika

"Maafin papa, ya, Van."

Jujur, itu tidak cukup dan tidak akan ada artinya lagi. Namun, ego harus dikesampingkan sekarang dan harus bersikap layaknya lelaki sejati. Dengan memafkan Ayahnya dan memperbaiki

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang