𝗛𝗮𝗽𝗽𝘆 𝗥𝗲𝗮𝗱𝗶𝗻𝗴<𝟯"Konnichiwa, Okaasan!" (Selamat siang, Mama!)
Davira berteriak setelah membuka pintu kamar wanita paruh baya. Gadis itu baru mendengar kabar bahwa Ibunya sakit dan membutuhkan dirinya. Meski awalnya permintaan itu ditolak mentah-mentah, tapi Davira akhirnya menuruti permintaan sang Kakak.
Tapi, itu bukan sepenuhnya karena permintaan gurunya saja, tapi ini juga dari hati i yang paling dalam. Setidak sukanya Davira ke Ibunya, ia masih memiliki hati dan perasaan untuk membuka mata lebar-lebar, jangan sampai hanya karena suatu masalah ia jadi melupakan yang harusnya diutamakan.
Maka dari itu, sebagai pembuka untuk memperbaiki hubungan, ia mengantarkan cake dengan susu ke kamar wanita yang telah sudi melahirkannya. Ditambah lagi dengan senyum Davira yang manis tanpa pemanis membuat aura bahagia semakin terpancar.
"Vi, ka--"
"Sstt!"
Davira meletakkan telunjuknya di bibir, mengisyaratkan agar wanita itu diam. Selanjutnya, duduk di dekat Ibunya yang sedang duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Ia memegang tangan Mama yang sekarang dipanggil Umah, digenggamnya dengan lembut sambil menatap wajah yang telah la dirindukan.
Tanpa mengucapkan apapun Davira langsung membenturkan dirinya ke Umah, memeluk wanita itu erat-erat dengan kepala yang bersandar di dada. Nyaman, itu yang dirasakannya. Mungkin inilah makna dibalik kata ikhlas dan merelakan kejadian yang telah berlalu.
Tanpa sadar, air matanya menetes deras tanpa bisa ditahan. Mengalir bagai air di sungai dan membentuk telaga di pipinya.
Biarlah sekarang ia menangis, ini bukan tangis kesedihan, tapi kebahagiaan. Janjinya untuk tidak menangis karena kesedihan dimulai dari sekarang, saat. pelukan mereka selesai.
"Mama makan dulu, ya," pinta gadis yang tidak berhijab itu, selepas pelukan mereka terurai.
Potongan cake disodorkan ke mulut Umah menggunakan garpu. Sayangnya, Umah tidak membuka mulut dan malah tersenyum, matanya menatap Davira sayu. Ia mengembalikan tangan Davira ke atas piring tempat cake berada, lalu melepas tangan putrinya dari garpu yang masih dipegang.
"Pakai tangan kamu, ya," kata Umah dengan kembali tersenyum.
Mengerti maksud dari wanita di depannya, Davira mengambil potongan kue cokelat dengan tangan kosong lalu menyodorkannya. Umah menerima suapan pertama dari putrinya setelah mengucap basmalah.
Wanita itu kemudian menuntun tangan Davira yang memegang cake ke mulut bocah itu, membuat Davira mau tak mau menerimanya dan ikut menyantap bolu cokelat. Tak cukup sekali, ia malah memakan sisa yang berada di tangannya. Jujur, rasanya itu enak sekali. Sama persis buatan Umah.
"Hehe, maaf, Ma. Vira kebablasan,"
Davira menyengir memperlihatkan deretan giginya sambil mengangkat dua jari seperti biasanya untuk berdamai.
"Gak pa-pa, mama juga udah kenyang, kok."
Davira tidak tahu itu bohong atau jujur, tapi satu hal yang harus diingat bahwa Ibunya itu sedang sakit. Jadi, nafsu makannya pasti tidak sebaik biasanya. Ia mengambil susu yang mulai hangat lalu memberikannya pada sang Ibu. Merawat wanita ini mengingatkannya pada saat Ibunya dulu menjaganya saat sakit. Ah, flashback lagi.
"Mama gimana perasaannya sekarang. Udah baikan?" tangannya bergerak menyentuh kening wanita yang dipanggil 'Mama'. Tidak terlalu panas, mungkin sebentar lagi akan sembuh.
"Enggak, kok. Sekarang udah sehat karena disuapin sama tangan manis ini." Malika--Ibu Davira--menggenggam tangan putrinya. "Jangan pergi dari mama lagi, ya, Nak. Cukup sampai tahun ini aja rindu mama selalu ditahan." ujarnya lirih menatap wajah Davira yang berekspresi... entah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Teen FictionMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...