34.Buchen

45 23 28
                                    

𝗛𝗮𝗽𝗽𝘆 𝗥𝗲𝗮𝗱𝗶𝗻𝗴^𝟯

"Loh, kok, balik? Katanya tadi pamit ke rumah zahran," ucap Umah saat melihat Davira yang sudah ada di depannya. Sekarang, gadis itu tengah memeluk Ibunya, menyembunyikan wajah yang memerah akibat kejadian tadi.

***

Davira sudah meninggalkan dapur, langkahnya menuju ke arah pintu yang akan membawanya pulang. Jalannya semakin terburu-buru dengan pandangan yang menunduk, menyembunyikan wajah dengan semu merah.

Brak!

Tubuh Davira oleng hingga merasakan akan mendarat di atas ubin dingin, tapi untung saja tidak jadi karena seseorang meraih pergelangan tangannya.

"Maaf, saya nggak sengaja."

Davira melihat orang yang baru saja berbicara setelah badannya kembali tegak, senyum kikuk tersungging saat mata mereka tak sengaja bertabrakan. Pergelangan tangan yang tadi sempat dicekal oleh pria itu kembali dipegang Davira, merasakan sisa-disa kehangatan yang bertahan meski masih ada bajunya. yang menjadi penghalang, jadi tidak bersentuhan langsung.

"Eh, nggak pa-pa, kok, Bang. Santuy aja," ujar Davira. Ia memperlihatkan deretan giginya pada lelaki yang masih menundukkan kepala. Apa pria ini merasa begitu bersalah?

"Ah, makasih. By the way kamu itu orang pertama yang panggil saya dengan sebutan 'Abang"." kepalanya sudah tegak, tapi pandangannya tidak mengarah ke Davira. Bukan apanya, itu hanya untuk menjaga pandangan saja agar tidak menimbulkan fitnah diantara keduanya. 94

Ehek!

Davira batuk jaim, mendengar kalimat itu rasanya campur aduk. Bahkan pikirannya sempat travelling kemana-mana karena hanya sebuah kalimat biasa saja.

'Kalau gue yang pertama ngucapin, apa gue juga yang bakal pertama jadi pawang hatinya, elu Bang?" Ah, pikiran Davira telalu kemana-mana.

"Gu--gue pamit dulu, Bang. Bye!" gagap Davira, ia yakin jika wajahnya sudah kembali memerah lagi.

"Assalamu'alaikum..."

Deg!

"Wa'alaikumsalam," Davira melangkah pergi lalu tiba-tiba berhenti pada langkah kelima, "Calon imam." tanpa berbalik lagi, ia langsung menancap gas menuju kediaman sang Ibu.

***

Davira masih memeluk Ibunya, bahkan pelukan itu semakin erat sebagaimana wajahnya yang semakin panas. Ini membuat Umah semakin bingung karena ulah Davira yang tiba-tiba. Apa mungkin putrinya sedang dalam masalah?

"Ada apa, Vi?"

"Nggak pa-pa, Ma. Tadi ada yang kelupaan," dustanya sambil merenggangkan pelukan mereka.

"Jadi, kamu mau balik lagi ke rumah zahran?"

Astaga! Kenapa Umah membicarakan hal itu? Davira kabur dari sana, mana mungkin akan kembali lagi. Ditambah pertemuannya dengan anak Umi yamg sungguh mendebarkan, dan tadi jantungnya terasa lari maraton, itu akan memperkuat alibinya untuk tidak kembali ke tempat itu kali ini.

Tanpa menjawab lagi, Davira meninggalkan Umah dengan sebuah senyum yang penuh arti. Gadis yang sedang salah tingkah itu menuju ke dapur. Kerongkongannya terasa kering setelah menahan debar jantung cukup lama, moodnya untuk makan juga semakin meningkat. Ah, dasar wanita.

Tidak lama, terdengar langkah sandal yang bergesekan dengan lantai. Davira menoleh ke arah pintu dapur, melihat Umah yang memasuki ruangan yang sama dengannya. Wanita itu menuju ke kulkas dan membukanya. Ada sebuah piring yang keluar dari kulkas dengan sesuatu di atasnya.

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang