"Bukan ajaran Mama yang salah, tapi keadaan Maaf...." yang ngebuat devan jadi gini.
Devan memperbaiki posisi duduknya, bersandar pada batang pohong sambil memeluk Umah dari samping. Dia tidak akan memaafkan dirinya jika membuat wanita paruh baya ini menjatuhkan air mata setetes pun atas tingkahnya. Pokoknya, Umah tidak boleh merasa sedih.
"Ini yang dinamakan suratan takdir, Nak. Jangan mengeluh, tetap berbaik sangka. Maafkan Ayahmu sebelum rasa tidak suka dalam hatimu berubah jadi benci," ucap Umah penuh makna. Ia tidak akan menaikkan volume bicaranya, sebab tahu jika anak seusia Devan tidak butuh suara keras untuk mengerti.
"Ajaran mama selalu devan ingat, kok, tenang aja," rupanya pelukan itu membuat Devan tenang. Hatinya menghangat, apalagi elusan Umah di lengannya seakan menyalurkan ketenangan jiwa.
"Bukan cuma di ingat, tapi diaplikasikan dalam kehidupan."
Jawavan Umah mengakhiri
perbincanagan mereka, sebab Devan hanya mengangguk dalam diam."Ya sudah, ayo, vira udah nunggu kamu."
Seketika Devan melepas pelukannya, membuat Umah menatap heran pada lelaki berhidung mancung itu. Tatapannya seakan bertanya "kenapa?" tetapi, orang di sampingnya malah tersenyum jumawa.
"Boleh nggak kita lebih lama di sini? Jarang-jarang, devan bisa bermanja-manja sama, Mama." kata Devan. Dia sudah tersenyum dengan tatapan mengiba, seakan-akan permintaan barusan itu permintaan terakhir.
"Nanti, ya, adek kamu udah nunggu." Umah meraih tangan Devan yang terulur manja.
Meski cemberut, Devan tetap beranjak dan mengikuti Umah. Sekilas, mereka memang sangat kompak sebagai Ibu dan anak ditambah mata dan bibirnya yang sangat mirip.
Di koridor rumah sakit, suasana cukup ramai. Ada beberapa perawat yang bolak-balik, juga orang-orang berlarian kecil. Di tengah kerumunan iru, Devan dan Umah berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan. Bukan Umah yang menggandeng, tapi putranya yang kembali manja.
Walau begitu, Umah tidak menolak saat tangannya digandeng Devan. Bagi wanita itu selama perlakuan Devan masih wajar tidak masalah jika omongan orang menjadi resikonya, apalagi yang melihat mereka seperti itu dihadiahi banyak tatapan sinis juga tak suka.
"Ih, jilbabnya doang yang lebar, tapi kelakuan kayak wanita pinggir jalan," ocehan itu sampai di telinga Devan, membuatnya menatap seorang perempuan dengan dandanan menor yang bersama dengan seorang wanita lainnya.
Tampaknya, perempuan berkalung emas tiga biji itu sedang mencari masalah. Devan memang emosi tetapi, tidak mungkin memancing keributan di tempat ini. Amarahnya semakin bertambah disaat teman perempuan bertubuh gempal itu menambah cibiran yang sangat tidak enak didengar.
Anehnya lagi, kenapa mereka bertiga berdiam di tempat itu, mepet lagi sama tembok. Mereka sepertinya sengaja mengghibah Umah dengan Devan. Bahkan, tatapan sinis Devan tidak membuat nyali mereka ciut, patut diacungi jempol.
Umah sudah berlalu, hanya Devan yang diam memasang telinga. Rasa hormatnya kepada orang tua masih sangat kental, maka dari itu ia tidak bertindak jauh.
"Lihat, tuh, cowoknya diam liatin kita, kayaknya naksir sama kamu, Jeng. Hahaha!" giliran wanita bergincu merah menyala mengeluarkan cibirannya.
Ketiga ibu-ibu itu tertawa rentah, membuat Devan menghampiri mereka. Manusia seperti ini harus diberi teguran atau akan semakin melunjak nantinya.
"Wah, pantas bibirnya pada merah, gosip sumber nutrisinya!" seru Devan menampakkan wajah mengejek. Memancing amatah ibu-ibu akan menyenangkan sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Ficção AdolescenteMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...