Suara adzan menggema memanggil para muslim dan muslimah untuk menunaikan kewajiban lima waktu. Derap langkah para lelaki dan anak-anak menuju ke masjid, ada juga beberapa wanita yang menuju ke bangunan itu.
Meski begitu, masih ada lelaki yang tidak meninggalkan pekerjaannya dan memilih untuk abai akan panggilan itu, tetap melanjutkan aktivitas agar mendapat hasil untuk makan sehari-hari.
Dunia memang sudah tua, saat ada yang bersusah payah untuk mencapai rumah Rabb-nya dan shalat dalam keadaan yang terbilang berbahaya, malahan ada yang abai dan cuek bebek akan kewajiban itu. Padahal sudah dimudahkan dan terlindungi.
Di sebuah rumah dengan cat hijau, para penghuninya juga bersiap untuk melaksanakan shalat ashar. Tapi, sang kepala keluarga sudah menuju ke masjid untuk berjama'ah. Ustadzah Nada dan Umah bergantian mengambil wudhu lalu menuju ke ruangan khusus yang ditempati untuk beribadah.
"Na, dimana Davira?"
Umah menoleh ke arah pintu, mencari sosok yang sedang ditanyakan tadi. Nihil, tidak ada siapapun yang menyusul masuk. Hanya ustadzah Nada yang sudah bersiap disamping Umah.
Perempuan yang sudah mengenakan mukena itu menepuk jidat, ia baru ingat tentang gadis itu. Cengiran khasnya menuju ke Umah, lalu menggeleng pelan tanda tak tahu.
"Nada ke kamarmya dulu, ya, Mah. Mungkin dia masih tidur." pamitnya lalu membuka rok shalat yang dipakai, sedangkan mukena masih membalut kepalanya.
Umah mengangguk mengiyakan. Tanpa ba-bi-bu lagi, Ustadzah Nada segera berjalan lebih cepat agar tidak memakan waktu lebih banyak. Sesampainya di depan kamar Davira, ia mengetuk pintu diringi ucapan salam.
Sayangnya, tidak ada tanda-tanda seseorang menempati kamar itu. Lihatlah, sudah berkali-kali Ustadzah Nada mengetuk pintu jati cokelat itu, tapi penghuni di dalam sana tidak bergerak sama sekali. Mungkin masih tidur, itu yang dipikiran ustadzah Nada. Bahkan, saat makan tadi, ia tak tega membangunkan gadis itu.
Pintu dibuka setelah meminta izin untuk masuk, meski tidak ada jawaban tetap itu diperlukan. Untunglah pintunya tidak dikunci jadi lebih mudah masuknya. Ustadzah Nada mendekati ranjang dan duduk di bibir ranjang. Davira terlihat begitu lelap dan tenang tidurnya.
"Ra, bangun. Ini sudah ashar, loh. Ayok shalat." ucapnya sambil menggoyangkan bahu gadis itu.
Posisi Davira menghadap ke arah ustadzah Nada, jadi wajah cantiknya masih bisa terlihat dari sini. Sebagian rambutnya menutupi wajah manis itu.
"Ra, bangun!" seru ustadzah Nada sekali lagi karena tidak ada jawaban dari gadis itu, bergerak pun tidak.
Badan Davira akhirnya digoyangkan, membuat gadis itu menggeliat pelan dan membuka mata perlahan mencari sosok yang sudah mengganggu tidurnya. Ustadzah Nada, itulah yang dilihat pertama kali. Ia kemudian beranjak bangun dan menatap penuh tanya.
"Waktunya, shalat. Ayok, kamu siap-siap. Aku tunggu di sini," perintah wanita yang masih setia duduk di ranjang.
Meski masih mengantuk, Davira tetap melaksanakan perintah. Kamar mandi yang terletak di ujung kamar membuatnya berjalan tak terlalu jauh. Air membuat wajahnya terasa lebih segar sekarang, setelah membasuh wajah ia melanjutkan untuk berwudhu. Sebelumnya, rambut hitam legam sudah diikat asal.
Setelah tiga menit, Davira sudah kembali dari WC. Ia meraih tas punggung yang dibawa tadi lalu membukanya, mencari mukena; kalaupun itu dibawa.
"Astaghfirullah!" pekikan Davira membuat ustadzah Nada menoleh dari seprai kasur.
"Kenapa?" lekukan di dahi menggambarkan jika dia khawatir sekaligus penasaran.
"Gue lupa bawa mukena."
KAMU SEDANG MEMBACA
Davira'S Story [END]
Fiksi RemajaMenjadi seorang wanita bukanlah sesuatu yang bisa membuat aktivitas terbatas, jika bertingkah layaknya seorang lelaki bukanlah suatu masalah memang. Yang jadi masalah itu sikap yang benar-benar menduplikat seorang pria. Itulah Davira, yang namanya...