42.Marah?

43 14 0
                                    

Tak terasa ujian kenaikan kelas telah berlalu. Santri dan satriwati menyorakkan kebahagiaan mereka dengan mengadakan murojaah bersma di masjid, tempat paling nyaman nan damai.

Hafalan al-Qur'an tak pernah lupa diulang terus dan ditambah, semuanya hanya untuk diingat dan mencoba memperbaiki kesalahan yang terus terjadi.

Mendapat juara umum tentu membuat Alishba bahagia sampai-sampai air mata haru tumpah ruah di pipinya. Bangga sudah pasti dirasakan teman-teman seperjuangannya, terlebih yang sekamar dengan sang juara umum.

Orang tua semua santri berdatangan menyaksikan acara kenaikan kelas itu berlangsung, termasuk Ibu Davira. Entah kemana Ayahnya pergi, setelah menitipkan Davira di pondok lelaki itu malah tidak pernah lagi menjenguknya. Mungkin sibuk dengan pekerjaan tanpa batas itu.

"Cie... yang juara umum. Traktir, dong, biar kita semua kecipratan rupiahnya." Davira mulai menggoda Alishba yang duduk di sebelahnya.

Mereka semua duduk di baris yang sama juga kurrsi berdekatan, membuat Davira leluasa bertingkah absurd pada sahabatnya. Kemenangan Alishba tentu menjadi topik utama bulan-bulanan para sahabatnya, tapi, tidak separah Davira.

"Lu, mah, makan mulu pikirannya. Tadi waktu dites hafalannya malah kemana-mana," itu fakta baru tentang Davira. Bagaimana dia mengeluarkan semua isi otaknya tentang file hafalan, meski banyak yang melenceng tapi masih mampu kembali. untuk dimaklumi dan diulang

Dia beruntung karena ustazah Nada yang menjadi pendamping, kalau tidak ... jangan dibayangkan kelanjutannya. Ustazah Nada saja mengeluarkan stock kesabaran yang banyak karena tingkah Davira yang tak ada ujungnya.

"Wah, parah Lu! Ngebahas masa lalu!" seru Davira dengan suara dinaikkan beberapa oktaf, membuat santriwati yang ada di dekatnya menoleh padahal acara di depan sana masih berlangsung.
"Masa lalu harus terus diingat biar bisa dijadiin pelajaran buat masa depan." Ghina dengan sikap sok bijak.

"Kata Inul Daratista, 'masa lalu biarlah masa lalu..."

"Suara Lu nggak enak banget, mending diem deh,"

"Iri bilang kawan,"

"Berisik!" Liya mengakhiri perdebatan keduanya.

Makhluk yang bernama Davira akhirnya diam dan memilih menatap pak kyai sedang membaca sesuatu di depan sana. Tapi, bukan Davira namanya kalau bisa diam dalam jangka waktu yang panjang. Lihat saja, sekarang kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan Ibunya yang tadi duduk paling depan barisan bangku orang tua, tapi sekarang wanita itu sudah menghilang dari tempatnya.

"Gue ke toilet dulu, ya," panitnya dengan kebohongan yang pasti. Ia pernasaran kemana saja Ibunya pergi saat acara masih berlangsung, dengan bermodal nekat berjalanlah kakinya menelusuri sekitar pondok, tentu mengendap-endap agar tidak diketahui para guru.

Sesampainya di gerbang, matanya memicing saat menemukan beberapa orang bergerombol, ada wanita juga pria. Yang jelas terlihat hanya sosok ustazah Nada, tapi siapa yang berada di sampingnya?

Lantas, langkahnya mendekat ke salah satu pohon dekat dengan posisi mereka, mata dan telinganya dipasang. Anggap saja Davira sekarang sedang menguping, sebab ia sudah tahu bahwa Ayahnyalah yang datang dengan Bi Inah, dan yang berada di samping ustazah Nada itu Malika, Ibunya.

"Kamu nggak bisa gitu, dong. Davira itu anak aku juga, aku punya hak ngurus dia!"

"Mana ada seorang Ayah yang hanya
peduli sama uangnya saja, bahkan kamu
tidak pernah memperhatikan anak kita!"

"Diam! Kamu tidak tahu apa-apa tentang Davira, jadi tutup mulutmu jal**g!"

"Wanita yang kau panggil **lang ini pernah mengisi hatimu dan memberikanmu seorang putri, dan--"

Davira'S Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang