Bab 21. Rencana

64.7K 7.2K 67
                                    

“Dah, masuk sana!” Dita mendorong Alara untuk segera mengetuk pintu ruangan dosen. “Kami tunggu disini.”

“Eh? Kalian nggak ikut masuk?”

Putri menggeleng. “Nanti kena marah kalau masuk ramai-ramai. Udah sana!”

Alara mendesah lelah dengan teman-temannya ini. Ia mengetuk pintu kemudian mengucapkan salam lalu masuk dan menatap Aqila kini sedang duduk di hadapan suaminya tampak tersenyum kemudian mengangguk-angguk caper.
Alara menutup pintu dan mendekat. Tidak ada dosen lain disini selain Aqila dan Pak Adam.

Seakan sadar kehadiran seseorang, keduanya menoleh menatap Alara. Aqila menaikkan sebelah alisnya lalu bertanya. “Lho, lo mau ngapain?”

Seharusnya dia yang bertanya seperti itu. Seketika Alara salah tingkah dan tidak menyangka jika bertemu Aqila disini. “Lo sendiri ngapain?” tanya Alara balik kemudian menatap suaminya yang kini menatapnya balik dengan penasaran.

“Oh, gue konsul untuk persiapan skripsi. Masih judul sih. Lo?”

Tak lama sosok Pak Wira masuk ke dalam ruangan. Alara segera berkata. “Ketemu Pak Wira.”

“Ketemu saya?” tanya Pak Wira bingung sambil menunjuk dirinya sendiri.

Mati gue!

Alara mengangguk cepat sambil menggigit bibirnya karena merasa benar-benar malu saat ini. Ia segera beranjak ke meja Pak Wira dan tanpa disuruh duduk, Alara sudah duduk terlebih dahulu.

“Ada apa, Alara?” tanya Pak Wira saat lelaki paruh baya itu sudah duduk di tempatnya.

“S-saya—” Ah, sialan sekali! Kenapa jadi seperti ini? Alara benar-benar mengutuk dirinya sendiri. “Nggak jadi deh, Pak. Lain kali saja, saya permisi dulu.” Alara segera bangkit dan keluar dari ruangan itu dengan wajah merah padam karena malu.

Dita dan Putri yang melihat langsung menghampiri Alara yang kini memukul kepalanya sendiri berulang kali sambil berdecak.

“Kenapa?”

Alara menatap kedua temannya dengan kesal. “Apanya kenapa? Malu seumur hidup gue! Argh.”

“Kenapa sih?” tanya Putri penasaran.

Tak lama Aqila keluar sambil tersenyum dan menatap Alara kemudian menghampirinya. “Lo ada urusan apa sama Pak Wira, Ra?”

“Eh, Pak Wira?” tanya Putri dan Dita bersamaan tidak mengerti. Padahal mereka menyuruh Alara untuk bertemu Pak Adam kenapa jadi Pak Wira?

“Bukan urusan lo.” Alara menyahut ketus sementara Aqila mengendikkan bahunya tidak peduli dan hendak beranjak, namun suara bariton itu seketika mengalihkan atensi keempat perempuan itu.

“Alara, ikut saya,” gumam Pak Adam tiba-tiba membuat Aqila menaikkan sebelah alisnya bingung.

“Haish!” Alara berdecak dan mau tidak mau menurut sambil memukulkan buku ke kepalanya beberapa kali karena ia benar-benar malu bahkan untuk menghadapi suaminya sendiri.

Sesampainya di ruangan, Alara melihat Pak Wira yang sudah bersiap-siap. “Saya pulang duluan, Pak Adam.”

“Ya, silakan Pak Wira.”

“Alara, saya duluan ya.” Pak Wira tersenyum menatapnya membuat Alara mengangguk tak enak kemudian Pak Wira keluar sambil menutup pintu di belakangnya.

“Kunci pintunya dan kemari,” titah Adam membuat Alara menaikkan sebelah alisnya namun dia tetap menurut.

Ia hendak duduk namun tarikan ditangannya membuat Alara mau tidak mau duduk di pangkuan suaminya. “Mas, nanti kalau ada yang lihat gimana?”

Dear, Mr. DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang