Bab 20. Final Akhir

69.1K 6.5K 65
                                    

“Coba sekarang kamu belajar mundur.”

Alara menurut, ia mulai belajar mundur. Kemajuannya meningkat pesat karena setidaknya ia sudah mulai bisa mengendarai mobilnya dengan santai. Hanya saja, Alara masih belum berani membawanya ke jalan raya.

“Lumayan,” gumam Adam lalu menatap istrinya. “Minggu depan kamu belajar bawa ke jalan raya ya.”

“Minggu depan?”

Adam mengangguk. “Kamu harus belajar dalam minggu ini, karena final sudah di mulai.”

“Nanti kalau kenapa-napa gimana?”

Adam menggeleng pelan. “Percaya sama diri kamu sendiri kalau kamu pasti bisa.”

Mau tidak mau Alara mengangguk, lalu menghentikan mobilnya dan keluar untuk kembali menukar posisinya. Kini, Adam mengambil alih kemudi.

“Ara tidur, Mas.” Alara bergumam saat melihat Ara yang turut menemaninya belajar mobil sedang tertidur pulas di belakang.

“Mungkin pengaruh obat, makanya dia mudah tertidur.”

Alara mengangguk. “Kita mau kemana, Mas?” tanyanya saat dilihat ini bukanlah jalan pulang ke rumah.

“Makan. Ini sudah siang dan kalau nunggu kamu masak bakal lama.”

Alara berdecih. “Bilang aja masakanku nggak enak.”

Adam melirik istrinya dan mengambil tangan Alara untuk digenggamnya. Ia mengecup jemari Alara dengan lembut sementara matanya fokus ke jalan. “Apapun yang kamu masak, enak nggak enak tetap bakal Mas habisin.”

Lagi-lagi Alara tersipu dan membiarkan tangannya di genggam di atas paha suaminya yang memakai celana jeans panjang hitam dan baju kaos berwarna putih.

***

Senin pagi adalah hari tersibuk di dunia, tidak Alara, Ara, bahkan Adam juga merasakan kesibukan yang sama. Adam mengantar putrinya lebih dulu ke sekolah lalu keduanya segera berangkat ke kampus bersama karena Adam yang memaksa Alara mengingat pagi ini Alara final pertama.

Sesampainya di kampus, Alara mencoba keluar dari mobil suaminya sambil menutup wajahnya dengan buku dan segera berlari ke ruangannya agar tidak dilihat siapapun. Adam sendiri hanya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya yang tidak jelas.

Ia segera masuk ke dalam ruangannya untuk mengambil berkas final atau dengan nama lain ujian akhir semester.

Alara langsung masuk ke dalam kelas E1.03 yang berarti lantai 1 ruang 03. Disana meja dan kursi sudah disusun berjarak. Alara memilih duduk paling belakang agar mudah berekspresi ketika mendapatkan soal yang sulit.

Tak lama, Buk Yunita masuk dengan langkah tegasnya. Menatap mahasiswanya satu persatu sebelum membagikan kertas soal dan juga portofolio.

Alara sedikit menyesal karena semalam ia cepat tertidur sehingga tidak sempat belajar. Matanya melirik ke arah teman-temannya dimana Putri dan Dita yang duduk sedikit jauh darinya tampak santai mengerjakan soal manajemen keuangan lanjutan.

Padahal baru saja kemarin mereka belajar bersama. Alara mencoba mengingat kembali sampai akhirnya ia mulai menuliskan huruf demi huruf di lembar portofolio menjadi sebuah karangan yang epik.

Satu persatu mahasiswa mulai menyerahkan hasil ujiannya pada Buk Yunita. Kini hanya sisa 7 orang di dalam lokal termasuk Alara dan Putri. Dita sudah lebih dulu keluar setelah menyelesaikan soalnya.

Setelah selesai, Alara mengangguk puas dan berharap jawabannya setidaknya mendapat nilai B+ jika tidak bisa A. Ia menuliskan nama dan nim di sudut kiri kertas barulah memberikannya pada Buk Yunita.

Setelahnya ia segera keluar ruangan dan bertemu dengan Dita yang menunggunya di depan ruang.

“Gimana?” tanya gadis itu pada Alara yang baru saja keluar kelas. “Lo bisa jawab ‘kan?”

“Awalnya gue bingung,” gumam Alara kemudian duduk di sebelah Dita. “Terus gue ngarang.”

“Astaga! Itu soal udah kita bahas loh pas belajar kemarin.”

Alara mengangguk. “Iya, gue inget tapi dikit-dikit. Selebihnya ngarang bebas.”

“Untung gue bisa jawab,” sahut Putri yang baru saja keluar ruangan. “Makan yuk, tenaga gue mendadak ilang, perut laper. Lagian kita nggak ada jadwal kuliah lagi kan habis ini?”

Alara menggeleng karena dulu ia sengaja mengisi KRS online pada hari senin hanya satu pelajaran. “Yuklah, gue juga laper.”

***

Dies natalis adalah peringatan hari lahir universitas ataupun fakultas sejenis budaya yang memang harus dijalankan. Namun, dies natalis fakultas ekonomi tahun ini tampaknya di gelar di gedung aula utama setelah mahasiswa menyelesaikan final akhir semester yang berarti minggu depan pada hari senin.

“Kemarin gue lihat adik kelas kita lagi nyari penari.” Dita bergumam sambil memakan batagor yang dipesannya.

“Penari?” tanya Putri. “Buat apa?”

“Buat dies natalis.” Lalu,  Dita mendekatkan wajahnya pada kedua sahabatnya. “Gue denger Aqila jadi MC.”

“Serius lo?!” tanya Alara tidak percaya. “Acara segede itu, Aqila jadi MC?”

Dita mengangguk. Namun, Putri segera menyela. “Wajar sih ya menurut gue. Dia pinter, punya muka juga.”

“Lo inget nggak pas kita masih di ospek? Dia kan memang dinobatkan sebagai cewek tercantik di angkatan kita terus jadi Queen. Kalau nggak salah yang jadi King waktu itu~hmm siapa ya?” Dita tampak berpikir. “Ah, Niko. Tapi, sayang dia pindah pas semester 2 ke Padang.”

Putri mengangguk membenarkan. “Padahal Niko cakep banget njir, cocoklah sama Aqila.” Ia mendesah pelan lalu berkata. “Tapi, kalau beneran Aqila istri Pak Adam, dia nggak bakal rugi dapet duda, tampan, keturunan kaya raya.”

Alara kini memilih diam dan menyimak sambil memakan sate miliknya.

“Nggak mungkin Aqila istrinya Pak Adam,” sahut Dita berpikir logis. “Minggu lalu Pak Adam nikah, dia masuk kampus sementara Pak Adam libur. Ya kali mereka liburnya terpisah, nggak masuk akal.”

“Eh, iya juga sih. Tapi, kenapa coba Pak Adam biarin Aqila nanya-nanya tentang judul skripsi sementara dia belum juga semester 7?” tanya Putri kemudian.

“Kalau kita juga nanya-nanya juga bakal dikasih tahu sama Pak Adam, ya kan, Ra?” Dita meminta persetujuan pada Alara.

“Eh? I-iya.”

“Coba lo nanya gih!” seru Putri pada Dita. “Kalau dijawab ya memang berarti Pak Adam care sama mahasiswanya.”

“Kenapa harus gue? Pak Adam nggak bakal kenal sama mahasiswa kayak kita. Ibarat nih, kenal orangnya tapi nggak kenal namanya soalnya kita kan di kelas cuma jadi pajangan doang biar nggak sepi.”

“Sedih amat.” Alara menyahut sambil memakan satenya. Ia merasakan hal itu saat sebelum menjadi istrinya, lelaki itu tidak pernah sama sekali meliriknya dan hanya orang-orang aktif di kelas yang dikenal sama Pak Adam ataukah selama ini Alara salah? Bagaimana jika suaminya itu sudah mengenalnya dan hanya bersikap profesional?

“Nggak berani pokoknya gue!” seru Dita sekali lagi. “Alara aja noh, coba tanya-tanya sama Pak Adam. Lo kan sering kena hukum sama Pak Adam. Jadi, udah pasti Pak Adam bakal respon.”

Alara gelagapan. Ia menatap kedua temannya yang kini menunggu jawabannya. Wanita itu menghela napas pelan dan mengangguk.

“Nanti gue coba tanya-tanya skripsi sama Pak Adam.”

“Jangan nanti! Sekarang gas kan, biar kami juga bisa lihat. Ya kan, Dit?”

Dita mengangguk dan kembali menatap Alara penuh harap membuat Alara seketika memejamkan matanya erat. Sialan!

***

ToBerCulosis.

Dear, Mr. DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang