Bab 22. Diusir

84.4K 7.4K 169
                                        

Fakultas ekonomi sudah dihias sedemikian rupa untuk pembukaan acara dies natalis pada hari senin nanti. Banyak mahasiswa yang membantu persiapan dan ada pula yang masih melakukan tugas terakhir mereka yakni ujian yang belum selesai.

Alara baru saja menyelesaikan ujian dari Pak Faisal dan masih ada ujian suaminya nanti jam 11.00. Ia semalaman sudah belajar dan tidak tahu soal apa sekiranya yang akan keluar karena Adam benar-benar tidak memberitahu pada Alara sedikit pun mengenai soal ujian.

Tania, Dita, Alara dan juga Putri kini berkeliling menyaksikan persiapan-persiapan untuk acara dies natalis selama seminggu nanti. Ada yang membuka bazaar makanan, menjual buku, lomba menggambar khusus untuk anak SD dan ada pula lomba lainnya yang akan diselenggarakan.

“Kalian nggak niat jualan gitu?” tanya Putri pada teman-temannya.

Tania menggeleng. “Males! Mau jualan kue juga gue nggak bisa bikin kue.”

“Gue juga.” Dita mengangguk membenarkan ucapan Tania.

Putri lalu menatap Alara. “Lo sendiri, Ra? Lo kan mayan bisa bikin kue.”

“Gue ribet di rumah.” Ya, dia harus mempersiapkan acara ulang tahun putrinya tanggal 15 nanti. “Lagi pula, males ah nyiapin begituan. Bawanya, bikinnya, uhh ribet.”

“Iya sih.” Putri mengangguk kemudian keempatnya kembali berjalan melewati stand. “Kita langsung ke kelas aja kali ya?”

Alara melirik jam tangannya. “Masih jam setengah 11.”

“Ya belajar aja di lokal, dari pada keluyuran nggak jelas gini.” Putri lalu menatap Tania dan Dita. “Lo berdua habis ini mau kemana?”

Tania dan Dita saling melirik lalu menjawab. “Kita pulang dong. Udah nggak ada jadwal.”

Lagi pula mereka mengambil jadwal mata kuliah Pak Adam dengan jam yang berbeda dari Putri dan Alara.

“Ya udah, kita duluan masuk ya.”

Dita dan Tania mengangguk.

Kini, Putri dan Alara langsung ke kelas. Sesampainya disana, mereka melihat Aqila sedang duduk sambil membaca sesuatu. Alara dan Putri memilih untuk menghampiri gadis itu.

“Baca apa lo?” tanya Putri lalu mengambil dan melihat isinya.

Aqila menatap keduanya kemudian tersenyum. “Latihan aja buat ngemsi senin nanti.”

“Ah.” Alara menganggukkan kepalanya bahwa ia lupa jika Aqila sebagai perwakilan untuk menjadi MC atau pembawa acara pada pembukaan dies natalis tahun ini.

“Enak ya jadi orang pinter,” gumam Putri dengan sengaja menaikkan bahu Aqila. “Nggak perlu belajar disaat final di depan mata malah latihan ngemsi.”

Aqila tersenyum. “Gue udah belajar semalem. Lagi pula, Pak Adam kan udah ngasih kisi-kisi soal. Jadi, gampanglah jawabnya.”

“Boleh nyontek dong?” tanya Putri sementara Alara sudah memilih untuk duduk paling belakang.

“Nggak!” sahut Aqila singkat dan ketus.

“Pelit.” Putri segera menyusul Alara untuk duduk paling belakang. Tak lama. Aqila menoleh ke belakang mengingat ia selalu duduk paling depan. Gadis itu menatap Alara dan bertanya.

“Tempo hari, lo ngapain ketemu sama Pak Adam, Ra?”

Alara yang sedang menunduk untuk membaca bukunya seketika menengadah. “Kapan?”

“Waktu kita nggak sengaja ketemu di ruang Pak Adam. Terus, lo dipanggil Pak Adam ‘kan? Nah, ngapain? Lo mau konsul juga?”

Alara mengernyitkan dahinya sejenak. “Oh, itu. Enggak gue nggak konsul.”

Dear, Mr. DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang