Seketika makan malam itu menjadi pembahasan tentang bisnis sementara Alara masih diam dan menikmati makanannya tanpa suara. Seketika ia mendengar, gadis kecil itu berkata pada Pak Adam.
“Pa, Ara mau ke toilet.”
“Mau ke toilet?” tanya Mamanya lalu melirik ke Alara. “Antar Ara ke toilet ya, Ra.”
“Eh?” tanya Alara bingung lalu saat melihat Mamanya mendelik Alara langsung mengangguk. “A-ah ayo, kakak antar.”
“Pergi sama Kak Alara ya?” pinta ayahnya membuat Ara mengangguk.
“Sekarang masih kakak, sebentar lagi jadi Mama.”
Guyonan dari kedua orang tua Pak Adam membuat pipi Alara memerah tanpa ditahan. Ia benar-benar malu saat ini dan segera menarik Ara untuk menjauh dari dua keluarga tersebut.
“Itu toiletnya. Pakai saja, kakak tunggu disini.”
Ara mengangguk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Alara mendesah pelan dan tidak menyangka jika akhirnya ia akan berakhir seperti ini. Alara memilih duduk di sofa ruang keluarga yang tidak jauh dari kamar mandi. Ia menyandarkan tubuhnya disana untuk mengurangi rasa pusing di kepalanya.
“Kakak,” panggil Ara membuat Alara menegakkan punggungnya cepat.
“Sudah selesai?” tanyanya sambil tersenyum.Ara mengangguk lalu menghampiri Alara yang duduk di sofa. “Rumah kakak luas sekali.”
“Rumah orang tua. Kakak belum punya rumah,” jawab Alara sambil terkekeh pelan. “Masih numpang.”
Ara tersenyum lalu wajahnya terlihat ragu dan bertanya. “Kak, apa benar kakak mau menikah sama Papa?”
Mendengar pertanyaan itu, Alara merasa prihatin pada anak usia dini. Ia menyuruh Ara duduk disebelahnya. “Sini, duduk dulu biar kita ngobrol.”
Ara menurut kemudian duduk di sebelah Alara.
“Kamu tahu kan kalau malam ini Papa kamu sama nenek dateng ke rumah Kakak buat perkenalan?”
Ara mengangguk.
“Nah, kami hanya perkenalan dan belum tentu juga Papa kamu setuju dengan pernikahan ini.” Alara seketika mencetuskan ide briliannya. “Kamu bisa saja bilang sama Papa untuk menolak kakak sebagai Mama kamu, gimana?”
Mata Ara melebar tidak percaya. “Kakak nggak suka sama Papa?”
“Bukan tidak suka,” jelas Alara mencoba menggunakan kata-kata yang dimengerti oleh anak seusia Ara. “Tapi, kakak belum siap untuk menikah dan menjadi ibu,” ringisnya di akhir kalimat membuat Ara tertawa pelan.
“Aku nggak pa-pa kalau Papa mau menikah dengan Kak Alara. Mama juga sudah menemukan Papa baru aku.”
“Mama kamu?” tanya Alara tidak percaya.
Ara mengangguk lalu menunduk dalam. “Tapi, Papa baru aku nggak mau terima aku sebagai anaknya, Kak. Aku cuma berharap kalau Kak Alara mau terima aku sebagai anak Kakak.”
Alara merasakan hatinya sakit mendengar ucapan anak berusia jalan delapan tahun ini. “Kamu masih kecil tapi sudah mampu berpikir dewasa. Papa baru kamu pasti menyesal udah menolak kamu.”
Ara tersenyum sendu sambil menatap langit-langit rumah Alara yang di design sedekimian elegan. “Aku nggak tahu, Kak.”
Alara seketika menepuk kepala Ara membuat gadis kecil itu menatapnya dengan tatapan beningnya. “Seandainya kakak jadi Mama kamu, kakak nggak akan pernah membuangmu. Kakak akan menganggapmu sebagai anak kakak sendiri, yah walaupun kakak belum tahu bisa menjadi seorang ibu yang baik apa enggak. Lagian, kakak belum berpengalaman.” Alara mengecilkan suaranya ketika sampai di akhir kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Mr. Duda
RomanceCerita sudah tamat! Sudah tersedia versi Audio Book Pogo ya teman-teman :) Sinopsis, "Biar saya lihat," gumam Pak Adam membuat Alara terperanjat kaget tiba-tiba melihat dosennya sudah ada di sebelahnya. Mata teman-teman Alara kini menatap Alara p...