6. Sepucuk Surat di Lembar Buku

460 121 24
                                    

Gumuah Mubarak.

Jumat pertama di bulan Rabiul Awal, yang acapkali disebut dengan Rabiul Anwar. Hal ini dikarenakan lahirnya sesosok cahaya yang melepaskan dunia dari belenggu kegelapan.

Di bulan yang baik dan hari yang baik ini, jangan lupa memperbanyak salawat dan zikir. Semoga kita bisa semakin meningkat dari hari ke hari.

Mari kita lanjutkan ceritanya.

.

.

.

[Kairo, 18 Januari 2016]

Arka sudah tidak bisa menahan sesuatu yang mendorong dari perutnya menuju ke mulut. Dia berlari menuju kamar mandi, mengeluarkan semua isi perutnya di sana. Faiz yang melihat itu ikut menghambur ke kamar mandi dan menunggu di depan pintu.

"Ka," Faiz berteriak. "Kau baik-baik saja kan?"

Dari dalam kamar mandi, terdengar suara serak dan pelan, "Nggak apa-apa Iz. Tenang saja."

Faiz seperti mengalami deja vu. Dia sama kagetnya seperti hari ini, ketika awal-awal Arka merasa mual dan sering mengalami muntah-muntah. Semua makanan yang dia makan, langsung dimuntahkan tidak lama setelah itu.

Awalnya dia mengira kalau Arka hanya masuk angin saja. Makanya dia tidak begitu khawatir dan masih santai meninggalkan Arka di kamar untuk beraktifitas. Arka juga masih sering bolak-balik ke Abdou Pasha untuk menyetorkan hafalan meskipun wajahnya sudah pucat.

Ketika seminggu berlalu dan Arka tidak kunjung sembuh, malah semakin parah hingga dia bisa muntah-muntah berkali-kali, barulah Faiz merasa ada yang janggal. Dia membawa Arka ke rumah sakit. Di sinilah drama panjang dimulai.

Entah karena penyampaian keluhan yang kurang jelas atau memang dokter yang memeriksa tatkala itu memandang sakit Arka sebelah mata, tidak ada tindakan berarti yang dilakukan oleh sang dokter. Dia hanya memeriksa sebentar perut Arka dengan stetoskop, kemudian memberi resep untuk ditebus.

Seperti yang sudah diduga, penyakit Arka tidak sembuh. Arka kemudian mulai sering merasakan sakit yang luar biasa di ulu hati. Faiz yang tidak memiliki pengetahuan tentang penanganan pertama, hanya bisa melihat Arka yang mengerang kesakitan dengan raut wajah iba.

Saat itu pun Arka masih beberapa kali memaksakan diri untuk pergi ke Abdou Pasha. Katanya, lebih baik dia datang menyetorkan muka dan menghafal sebisanya daripada harus kena hukuman. Faiz sudah mengingatkan kalau Syeikh Mustofa pasti mengerti tapi Arka tidak mau mendengar. Badannya tampak rapuh ketika berjalan.

Tiga minggu adalah waktu yang dibutuhkan Arka untuk menyerah. Dia hanya bisa terbaring di atas kasur. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Kuantitas muntahnya masih belum berkurang meski terkadang hanya cairan yang keluar karena kurangnya asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh.

Yang tidak Faiz tahu, beberapa teman menghafal Arka yang tinggal di Bu'uts menjenguk dan menyuruh Arka untuk makan yang banyak. Mereka berkata kalau Syeikh Mustofa menilai kalau Arka sakit karena malas makan. Arka yang mendengar itu langsung memaksakan diri untuk makan. Hasilnya, Arka malah muntah-muntah dengan hebat.

Sebulan berlalu, Faiz mencoba membawa Arka ke rumah sakit yang lain. Kali itu, Faiz meminta rekomendasi dari beberapa senior terkait rumah sakit yang menjadi rujukan mahasiswa Indonesia. Sayangnya, di sana Arka hanya dikasih obat yang berbeda dengan diagnosa adanya radang di bagian pencernaannya.

"Ini dokter Mesir, bayar 70 Le untuk konsultasi tapi hanya dapat resep obat. Sudah begitu, obatnya mahal lagi." Faiz mencak-mencak saat menunggu antrian obat.

"Sabar Iz." Arka menenangkan. "Maaf ya aku jadi ngerepotin kamu."

"Hush. Jangan berbicara seperti itu. aku nggak merasa repot sama sekali." Faiz memandang Arka dengan wajah sedih. "Obatnya mau ditebus semua?"

Kairo Ketika TertidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang