Gumu'ah Mubarak.
Jangan lupa memperbanyak salawat kepada Rasulullah Saw.
Terima kasih sudah berkenan membaca, semoga cerita yang disajikan bisa dinikmati dengan baik.
***
[Kairo, 2 Oktober 2016]
Wajah Arka terlihat kuyu. Garis hitam nampak di lingkaran matanya. Dia menghabiskan semalam suntuk, mengobrol dengan Faiz terkait apa yang dia alami di kantor radio tadi. Zakki sudah kembali ke aktivitas asalnya. Dia tidak keberatan dengan pilihan yang nantinya akan dipilih oleh Arka. Zakki semenjak awal hanya berniat mengabarkan Arka, memberinya opsi pekerjaan.
Dengan Faiz, pembicaraan tentu lebih dalam. Karena dia tahu betul titik kegundahan yang Arka rasakan. Persimpangan yang kembali muncul, seperti yang terjadi di masa lalu.
Ketika Arka bersama Syeikh Mustofa, dia merasa terkekang dengan peraturan yang ketat dan beban belajar yang tinggi. Ketika ada opsi pelarian untuk izin seperti kumpul atau kerja, Arka akan benar-benar memikirkannya. Walhasil, Arka tenggelam dalam dilema yang mendalam, seakan-akan kedua hal tersebut adalah tabrakan yang tidak memiliki opsi lain.
Itulah kesalahan Arka di masa lalu.
Dengan Solihin saat ini, Arka tidak mau membuka peluang itu terbuka untuk kedua kalinya. Bekerja di radio akan membuat gesekan terjadi. Satu-dua kali Arka mungkin bisa menanggungnya. Tapi sekiranya lebih dari itu, Arka tidak yakin dengan kondisinya sendiri.
Di samping itu, bekerja dengan waktu sepanjang itu akan menghabiskan banyak porsi belajarnya, yang mana menjadi fokus utama Arka saat ini.
Pada akhirnya, Faiz hanya berkata, "Untuk memutuskan perkara ini, kamu perlu mengingat kaidah yang dulu sekali kita pelajari."
"Apa itu?" tanya Arka.
"Kedepankanlah atau dahulukanlah suatu perkara dikarenakan lima alasan. Pertama berdasarkan sebab, kedudukan, zaman, tabiat, maupun kemuliaan. Seperti saat kita menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kita mendahulukan kata 'bangunlah jiwanya' baru kemudian 'bangunlah badannya'. Didahulukannnya 'bangunlah jiwanya' didasari bahwa kedudukan pembangunan jiwa, lebih tinggi dari dari pembangunan badan. Atau bisa didasari bahwa salah satu sebab terbangunnya badan adalah jiwa yang bangun."
Pembicaraan tersebut berhenti saat subuh menjelang. Setelah salat subuh di masjid dan menghabiskan waktu hingga waktu dhuha, mereka tidur hingga pukul sembilan pagi.
Arka yang sudah memiliki pandangan, memutuskan untuk pergi ke Masjid Imam Husein untuk lebih memantapkan dirinya. Dia berniat memberikan jawaban kepada pihak radio hari ini.
Setengah jam berlalu, Arka sudah duduk manis di tempat favoritnya. Dia menggulirkan tasbih di tangannya dan mulai asyik dengan dunianya sendiri. Orang-orang berlalu lalang di depannya, namun Arka tidak sekalipun berniat untuk memutus aktivitasnya.
Pikirannya mengembara jauh lebih dalam.
Dia mengingat kembali percakapan dia dengan seorang kawan ketika awal-awal sampai di Mesir.
Saat itu Faiz sedang rajin-rajinnya belajar Bahasa Arab baik fushah maupun ammiyah. Setiap saat dia membawa kamus dan mempraktekkannya dengan orang-orang di sekitarnya. Para pelajar dari negara lain sangat mengapresiasi itu dan menimpali setiap percakapan yang Faiz bangun. Di samping itu mereka membenarkan ucapan Faiz yang keliru.
Melihat hal itu, seorang teman menyeletuk, "Kok kamu rajin banget, Iz? Kita-kita ketinggalan loh nanti."
Ada sedikit nada mengejek di dalamnya, yang bisa dirasakan oleh yang mendengar. Faiz sendiri terdiam, tidak mampu menjawab. Hanya tersipu malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kairo Ketika Tertidur
SpiritualKetika Arka tengah bersimpuh lemah di sudut Masjid Imam Husein, seorang kakek tak dikenal menghampirinya dan menyampaikan nasihat penuh isyarat padanya. "Ketahuilah bahwa jalan keluar dari segala permasalahanmu ada di mana-mana. Obrolan dari seseora...