Selamat membaca!
***
[Jakarta, 11 September 2016]
Sehabis maghrib, kegaduhan tampak jelas di rumah Arka. Itu karena dua jam lagi, Arka akan mengisi pengajian di masjid komplek. Tentu saja ibu dan kedua adiknya antusias. Terlebih ibunya yang sudah lama tidak bertemu dan ingin melihat perkembangan anaknya.
"Kamu mau pakai baju apa untuk nanti malam?" Tanya ibu Arka ketika melihat Arka pulang dari masjid untuk salat maghrib berjamaah. "Mau pakai jalabiyah?"
"Pake baju biasa saja, bu."
"Sarung sama jas maksudmu?"
"Iya, bu."
Arka tidak ingin terlihat berbeda dengan para tetangganya yang akan hadir. Dia memilih untuk memakai pakaian yang lumrah dipakai, supaya lebih membaur dan melebur bersama.
"Ya sudah. Baju kamu semuanya ada di lemari kamarmu."
Karena terlalu mendadak, Arka tidak membawa banyak baju ketika pulang. Untungnya baju dia semasa di pesantren masih rapi di lemari. Setelah melihat semua baju di lemari, Arka memilih koko putih dan sarung hitam. Tidak lupa dia menggantung jas hitam di dekat lemari agar tidak perlu mencari lagi saat hendak mengenakannya.
Baju sudah siap, Arka duduk di atas kasur, mengambil kertas yang berisi materi yang akan dia sampaikan hari ini. Materi yang sering dia dengar ketika di Kairo, yang dia rasa cocok untuk semua kalangan.
Salah satu tantangan besar dalam menyampaikan dakwah adalah menyesuaikan materi yang disampaikan dengan kapasitas jamaah. Ketika hal itu tidak diperhatikan dengan baik, maka hal-hal yang disampaikan tidak akan menarik untuk didengar. Meskipun didengar, belum tentu akan diterima dengan baik.
Semisal di suatu tempat penuh dengan anak muda, maka tidak cocok untuk memberi materi yang berkaitan tentang urusan orang dewasa seperti cara mencari nafkah dan sebagainya. Begitu pun ketika di tempat lain diisi oleh orang tua, maka tidak tepat untuk memberi materi yang berkaitan tentang anak muda seperti keutamaan berbakti kepada orang tua.
"Kak, ini peci hitamnya." Reksa naik ke atas, menyerahkan peci hitam lamanya. Arka mencobanya sebentar untuk mengetahui ukurannya masih pas. Dia menaruh peci tadi di samping baju yang sudah dia siapkan.
"Terima kasih, Sa."
"Sama-sama, kak." Reksa turun dengan cepat. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dia kerjakan.
Arka melihat jam tangannya. Masih ada setengah jam sebelum waktu isya. Dia mengganti baju dengan santai, melipat sarung dengan rapi dan memakai jas hitamnya. Arka menyisir rambutnya dengan telaten sebelum menaruh peci di atasnya.
"Bu, Arka berangkat duluan." Arka mengulurkan tangan untuk menyalami ibunya. Dia ingin sampai lebih dulu di masjid agar dapat melihat kondisinya. Ibunya masih berkutat di dapur.
"Iya. Nanti ibu menyusul."
Perjalanan ke masjid tidak memakan waktu lama karena rumah Arka hanya terpisah enam rumah darinya. Masjid masih lenggang. Arka memilih duduk di saf depan di pojok kanan, menggulirkan tasbih sembari menunggu waktu salat tiba.
Azan berkumandang. Tidak lama setelahnya, iqamah menggema ke penjuru komplek.
Arka segera berdiri dari tempat duduknya. Biasanya para sesepuh yang memimpin salat lima waktu.
"Nak Arka, kamu yang pimpin salat, ya." Pinta salah satu takmir masjid.
Arka mengernyit dahi. "Bukannya biasanya Pak Car?" Arka menyebut salah satu imam yang biasanya memimpin salat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kairo Ketika Tertidur
SpiritualKetika Arka tengah bersimpuh lemah di sudut Masjid Imam Husein, seorang kakek tak dikenal menghampirinya dan menyampaikan nasihat penuh isyarat padanya. "Ketahuilah bahwa jalan keluar dari segala permasalahanmu ada di mana-mana. Obrolan dari seseora...