Selamat membaca, semuanya.!
Selamat menikmati...
***
[Kairo, 26 Agustus 2016]
Tidak ada siang yang berlangsung selamanya.
Arka saat itu sedang berjalan ke kamar mandi umum dengan santai saat badai besar menghampirinya.
Kamar mandi umum terletak cukup jauh dari imarah yang Arka tinggali. Tempat tersebut adalah sebuah bangunan berbentuk kubus, di dalamnya terdapat puluhan pintu kamar mandi, yang didalamnya terdapat satu pancuran air. Di musim panas, tempat itu sama sekali tidak diminati para penghuni asrama. Namun di musim dingin, semua orang berbondong-bondong ke sana, karena di sanalah satu-satunya kamar mandi yang menyediakan air panas.
Kalau tidak mau mengantri, mereka harus memasak air dengan pemanas, memasukkannya ke dalam bak mandi, kemudian mandi di kamar mandi imarah. Metode ini akan memakan waktu dan air yang dipakai terbatas.
Khusus hari jum'at, kamar mandi umum akan sangat ramai ketika menjelang salat jum'at. Arka menyiasati hal itu dengan datang pukul setengah sepuluh. Saat itu kondisi masih sepi, hanya beberapa pintu yang tertutup, menandakan ada orang yang mandi di sana. Air panas juga masih melimpah, berbeda ketika kondisi ramai yang mengharuskan para pemakai berbagi.
Mandi air panas di tengah cuaca dingin yang menggigit merupakan kenyamanan yang menyenangkan. Arka sampai enggan untuk berpisah dengan kucuran air yang memijit seluruh tubuhnya. Sayangnya dia tahu kalau sebentar lagi, banyak orang yang akan mengantri untuk mandi dan menghabiskan persediaan air panas.
Pukul sepuluh kurang lima, Arka keluar dari kamar mandi umum. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil sarapan sebelum kembali ke kamar. Di tengah jalan santainya, Arka berpapasan dengan beberapa orang yang berjalan berlawanan arah, membawa peralatan mandi di tangan dan menyampirkan handuk di pundak.
Dapur sudah mau tutup ketika Arka sampai. Untungnya Arka masih bisa mengambil sarapan meskipun beberapa petugas loket memarahinya sebentar, menyuruhnya untuk datang lebih pagi. Arka hanya memberikan cengiran tanpa dosa, tidak mau berdebat panjang karena dia masih mengambil makan pada waktunya.
Arka pulang dengan wajah ceria. Tangan kanan memegang plastik penuh dengan makanan untuk sarapan dan tangan kirinya membawa alat mandi.
Sesampainya di kamar, Arka tidak mendapati siapapun. Faiz sepertinya berencana salat jum'at di Masjid Al-Azhar dan Zakki sudah pergi lagi. Arka menaruh peralatan mandi, kemudian menyalakan pemanas air untuk membuat teh.
Sembari menunggu air panas tersedia, Arka membuka ponselnya, mendapati puluhan panggilan tidak terjawab dan pesan masuk dari Nala.
Bulu kuduk Arka bergidik. Dia mendapati perasaan tidak enak merayapi dirinya.
Empat bulan pasca kecelakaan, kondisi bapak Arka mengalami kemajuan yang signifikan sehingga diperbolehkan untuk rawat jalan. Bulan-bulan berikutnya adalah kabar gembira, membuat ibu Arka menyuruh Nala kembali ke Bandung. Arka yang mengetahui kabar itu, merasa sebagian besar beban moral yang dia pikul terangkat.
Arka menarik nafas panjang, menggulirkan jarinya untuk membuka pesan.
Nala Amalia: Assalamualaikum, Kak.
Nala Amalia: Kak, bapak sudah nggak ada.
Sebuah bom seakan-akan meledak di atas kepala Arka. Tubuhnya terasa limbung, seperti seluruh tenaga yang dia miliki menguap begitu saja. Pembuluh darah bak tidak mengalir ke wajah Arka, melihat betapa pucatnya dia saat itu.
Arka terduduk lemas. Dengan tangan bergetar, dia mencari kontak ibunya dan membuat panggilan.
Tuuut... Tuuut... Tuuut...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kairo Ketika Tertidur
SpiritualitéKetika Arka tengah bersimpuh lemah di sudut Masjid Imam Husein, seorang kakek tak dikenal menghampirinya dan menyampaikan nasihat penuh isyarat padanya. "Ketahuilah bahwa jalan keluar dari segala permasalahanmu ada di mana-mana. Obrolan dari seseora...