4. Sebuket Penyesalan dan Maaf

10.7K 1.8K 165
                                    

"Masa lalu doang katanya? Profesional? Lo belum tahu aja, Rin, masa lalu gue sama Raga tuh kayak apa!"

Gigi geligi Alika bergeretak sebal. Sebelah telapak tangannya menerima tuangan toner lalu menepuk-nepukkan produk perawatan wajah itu ke pipi dengan sedikit gemas. Entah sudah berapa lama wanita yang masih mengenakan lilitan handuk di rambut setengah basahnya itu mengomel sendiri.

Alika jelas bingung bagaimana cara membuat gadis manja itu paham bahwa ia dan Raga punya masa lalu rumit. Rumit karena mana mungkin Alika berkoar padanya bahwa mereka pernah berbuat dosa!

Dosa, Rin! Dosa!

Perempuan itu menarik gulungan handuk di kepala, melemparnya ke keranjang kotor secara asal. Keranjang pakaian di dekat lemari pakaian itu bahkan sampai terjungkal saking kerasnya ia melempar kain pengering dengan segenap emosi di dada.

Semalaman Karin merengek melalui telepon. Bom chat berisi bujukan untuk menjadi vendor dekorasi darinya sungguh berisik. Sampai akhirnya Alika mematikan ponsel dan menyimpannya di balik kasur.

Bukan Karin namanya kalau menyerah begitu saja. Subuh menjelang, benda pipih yang baru dua menit dinyalakan mendadak meraung-raung, membuat Alika yang masih menguap sebal.

"Maafin aja kenapa, Al. Mas Raga orang baik, kok, kata Mas Arya."

Begitu seterusnya. Bilang Mas Raga baik tanpa berusaha mencari tahu kenapa Alika membencinya sungguh membuat sepupu Karin itu terpojok.

Suara pengering rambut berdesing nyaring. Perempuan yang sibuk menyemburkan udara hangat ke surai hitam legamnya menarik napas dalam. Agaknya percuma mengomel sendiri begini.

"Mbak, masih lama enggak? Ada pelanggan di toko!"

Suara Mirna—salah satu karyawannya yang paling loyal—menginyerupsi Alika. Wanita itu mengakhiri sesi mengeringkan rambut dengan menyisir rapi lalu menyematkan banda ungu muda. Terkadang ada saja pelanggan yang hanya mau menerim rangkaian bunga buatan Alika, meskipun ia berani jamin rangkaian Mirna juga bagus.

Perempuan berbalut kemeja tanpa lengan—berwarna ungu tua—dan celana jins putih itu keluar kamar. Ia menuruni anak tangga sedikit cepat. Pelanggan pertama di pagi hari, wajib dilayani sebaik mungkin.

"Selamat pagi. Alika flo—" Bibir Alika spontan terkatup rapat.

Pria yang mengenakan setelan kasual itu menoleh. Sedikit mengulas senyum sebelum akhirnya raut perempuan itu berubah masam.

"Ngapain?"

Lelaki itu mengedarkan pandangan ke seluruh jajaran stok bunga dalam vas besar. "Beli bunga."

Bola mata perempuan itu bergerak ke kiri dan kanan. Ia sempat buru-buru menyembunyikan dua tangan ke balik badan dan meremas-remas jemarinya—salah satu kebiasaan ketika gugup. "Bunga apa?"

Raga menyimpan kedua tangan ke saku celananya. "Mm, hydrangea, mungkin. Aku mau kasih bunga itu ke seseorang."

Alika masih bergeming, menanti keberlanjutan kemauan pembeli tak terduga pagi ini.

"Perempuan. Sebagai permintaan maaf karena aku meninggalkannya," lanjut Raga diikuti senyum simpul.

Alika meraih kertas chelophane biru tua, pita dua warna, dan gunting. Ia sempat pergi ke belakang, mengambil beberapa gerombol hydrangea biru. Tanpa banyak kata, sang florist cekatan membuat buket bunga sebagai simbol permintaan maaf. Florist berwajah ayu—dengan bibir penuh berpoles lipstik warna nude—tak pernah salah pilih dalam menyarankan buket bunganya.

Hydrangea, salah satu bunga yang pernah Kaisar Jepang persembahkan untuk permaisurinya sebagai permohonan maaf. Maaf karena terlalu lama meninggalkannya. Lalu, siapa wanita beruntung yang akan mendapat bunga ini dari Raga?

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang