Nanjak, Gaes, nanjak! Pegangan! Tapi belum sampai puncak. Mas Raga masih baru mau susun rencana. 😂
Authornya disleding ramai-ramai.
Happy reading! 😘
Eh, vote dulu sama komen kembang mana kembang? Biar lapak ini tetap harum, ya, Gaes, ya. 😆
💐💐💐💐🌺🌺🌺🌺🌸🌸🌸🌸⚘⚘⚘⚘🌼🌼🌼🌼🌹🌹🌹🌹🌻🌻🌻🌻
====💐💐💐====
Malam semakin larut. Akhir-akhir ini Raga lebih suka berkubang dengan kesibukannya bersama Eko. Mengajak rekan kerjanya itu untuk mencari relasi bisnis mereka yang ada di Lembang. Mencari bibit sayur dan buah terbaik, mencari celah menjalin bisnis dengan perusahaan-perusahaan pangan berbasis sayur dan buah organik.
Eko bersama istrinya cukup bisa diandalkan. Laki-laki itu menikah sejak lulus kuliah, dengan seorang janda muda tanpa anak. Istrinya 5 tahun lebih tua dan baru pulang dari Korea usai menyelesaikan kontrak kerja sebagai TKW.
Meskipun begitu, Raga bisa melihat ada ketulusan dalam jalinan pernikahan keduanya. Istrinya bahkan rela menguras tabungan untuk berinvestasi pada ladang buah dan sayur milik Eko dan Raga. Sayangnya, butuh modal dan relasi lebih banyak kalau bisnis mereka mau dikembangkan lebih jauh.
Raga mendesah lelah. Ia menelungkupkan wajah di atas dua tangannya yang terlipat di atas setir mobil. Sepertinya mobil pun bisa ikut terlempar kalau harus menuruti semua kelakuan adik tirinya.
Ketika Raga menegakkan tubuh dan menyadari jam digital di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 12 malam, ia pun turun. Tidur dan menutup dua telinga dengan bantal agar kebisingan dari pikiran rumitnya bisa beristirahat sejenak.
Namun, baru satu kaki ia turunkan ke lantai basement, dua orang pria berbadan kekar itu mengadang. Tatapan tak bersahabat dan sarat kebengisan itu membuat Raga refleks meningkatkan kewaspadaan. "Ada apa nih?" tanyanya sama tak ramah.
Pikirannya sedang ruwet, emosinya bisa saja meledak-ledak kalau harus dipancing-pancing untuk ribut begini. Raga turun, menutup pintu mobil di belakangnya.
"Beni berhutang pada bos kami. Dia bilang harus menemui Raga Prasetya kalau urusan begini." Pria berkaus kutung merah dan rambut gondrong itu berkata dengan tatapan memelotot garang.
Sementara pria berkaus kutung dengan kepala plontos itu mengeratkan kepalan tangan kanan, menumbuk-numbukkannya pada telapak kiri.
"Brengsek, sampai main ke rentenir juga?" gumum Raga lebih ke arah berbisik pada dirinya sendiri seraya memalingkan wajah. "Gue nggak ada urusan sama utang Beni ke rentenir."
Mulanya, Raga bersiap pergi, tak mau peduli dengan tingkah adik tirinya yang semakin keterlaluan. Namun, cara dua preman itu mencekal kerah belakang kemejanya membuat ia kesal dan tersinggung, membuat ia spontan mengahantamkan sikut ke dada salah satu dari mereka. Preman berkaus kutung di belakang Raga mengerang.
Belum sempat beringsut menjauh, pria berkepala plontos di sisi kanannya sigap mencekal, mengunci dua lengan Raga ke belakang punggung. Dalam cekalan serba sesak itu, Raga masih berusaha mencari celah. Ia berniat menjegal salah satu kaki dan bersiap ambruk bersama ke lantai semen yang dingin.
"Alika Prameswari!"
Mendengar nama perempuan itu disebut lantang, Raga menahan diri. Dadanya mendadak bergemuruh cemas.
"Berikan uangnya kalau mau gadis ini tetap aman!"
Pria berkaus kutung itu mengeluarkan satu lembar kertas terlipat menjadi beberapa bagian. Ada sosok Alika di malam pesta reuni kala itu. Foto itu sontak membuat Raga melemah. Hidupnya sudah cukup berantakan, tapi ia tak sampai hati bila Alika harus ikut menanggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Perawan
Romance[21+] Kata Oma Ratri, gadis perawan itu sesuci bunga kaca piring alias gardenia yang putih dan melambangkan kemurnian. Belum terjamah birahi lelaki dan hanya untuk suaminya kelak. Kaca piring milik Oma Ratri memang terkutuk. Selalu membuat suasana h...