40. Konfrontasi

3K 857 131
                                    

Maafkan update lagi. Besok libur update, ya? 🤭

Happy reading!

Vote sama komen jangan lupa. 🤗😘

====💐💐💐====

Hari masih terlalu pagi. Di luar masih terlalu petang. Namun, kepulangan putranya yang tiba-tiba saat subuh membuat Rosita bangun lebih pagi. Hendri belum pulang. Suaminya itu mendapat pekerjaan menjadi satpam di sebuah rumah sakit, baru sebulan ini.

Perkerjaan yang harus ia terima dengan lapang dan mengesampingkan gengsi. Hendri tak ingin hanya berpangku tangan meski usianya sudah lebih dari 50 tahun. Rekan kerjanya dulu berbaik hati memberinya kesempatan bekerja meski hanya sebagai karyawan biasa.

Terlalu malu untuk mengakui bahwa dirinya sudah tak becus membina anak kandungnya sendiri. Namun, kesepakatannya bersama Rosita sempat terjalin secara diam-diam tanpa sepengetahuan putra tirinya. Mereka hanya mau dua putranya akur.

"Mama kasih sertifikat rumah ke Beni?" Raga bertanya dengan suara dingin. Tatapan kosongnya memandangi kepulan uap hangat dari secangkir kopi buatan ibunya.

Perempuan yang mengenakan daster biru tua lengan panjang itu tertegun. Adukan pada kuah capcay sayur di penggorengan terhenti. Ia mematikan api, berbalik, lalu mencuci tangan di atas kitchen sink.

"Mama sama Papa cuma mau Beni punya usaha. Biar dia nggak lagi ngerepotin kamu, Ga," akunya dengan suara pelan.

Raga tersenyum kaku. Ada desah lelah yang bisa Rosita dengar meski sekilas. "Apa susahnya, sih, tanya dulu ke anak sendiri? Apa susahnya tanya pendapat Raga dulu kalau mau bertindak?"

"Mama cuma ...."

"Cuma mentingin kemauan Mama," potong Raga cepat.

Rosita meremas lap tangan di meja. "Karena Mama pikir kamu sama Beni butuh bantuan biar nggak bersitegang terus, Ga. Mama sama Papa mau kalian berdua saling bantu layaknya saudara. Mungkin nanti kalau kafe Beni mulai ramai, dia bisa ...."

"Mama lebih kenal siapa? Aku, anak yang dilahirkan dari rahim Mama sendiri, atau Beni, anaknya Om Hendri sama perempuan lain?"

Perempuan berambut sebahu itu tertunduk. "Mama salah, ya?"

"Bener. Menurut versi Mama sendiri." Raga mendongak menyesap kopinya tanpa minat.

"Terus Mama harus gimana?"

"Mama mau tahu mau Raga apa sekarang?"  Raga menatap lurus pada perempuan yang seharusnya lebih mengerti dirinya. "Minta cerai sama papanya Beni," sambungnya dengan suara bergetar. "Karena cuma itu yang bisa bikin aku sama Beni berhenti berkonfrontasi."

Hening. Tak ada jawaban dari Rosita. Perempuan itu tertunduk dalam. Ia memilih menyembunyikan tangis dengan kembali berbalik dan sibuk membuat sarapan.

**

Raga menatap punggung wanita yang sedari tadi sibuk di depan penggorengan. Untuk kali ini ia tak mau mengelah lagi. Sebab apa-apa yang sebelumnya diperjuangkan sudah luluh lantak. Ia hanya mau menyerah, pergi yang jauh, meninggalkan apa-apa yang membuatnya sakit.

"Sarapan, Ga. Kita bicara lagi nanti. Mama ke kamar dulu." Perempuan itu menyuguhkan semangkuk capcay sayur. Ia sempat menghapus sudut matanya yang basah.

Perempuan itu berlalu meninggalkan Raga sendirian. Pun Raga sedang tak ada kemauan untuk menahan sang ibu agar mau menemaninya menghabiskan sarapan. Apa yang dilakukan Rosita kali ini jelas salah.

Raga belum menyentuh makanannya ketika suara pintu depan dibuka dengan pergerakan kasar. Lalu suara umpatan demi umpatan terdengar.

"Di sini lo rupanya, hah?! Maksud lo apa?! Kalau nggak niat ngasih, harusnya dari dulu nggak usah sok berlagak di depan Papa!"

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang