6. Dua Buket Bunga pada Pagi yang Sama

8.7K 1.7K 152
                                    

Taksi yang membawa perempuan bersweter kebesaran itu berhenti di depan Alika Florist. Kaki berbalut sandal selop bergambar ikonik Bare Bear itu turun dari tumpangan kursi belakang. Ia berjalan malas sembari membenarkan posisi totebag putih motif bunga matahari.

Saking syoknya mendengar kabar pagi ini, semangat paginya hilang. Alika bahkan hanya menyuapkan selembar roti tawar tanpa olesan selai apa pun dan setengah gelas air putih.

"Oma mau tinggal di rumah ini sampai pernikahan Karin selesai."

Oh, sungguh itu petaka besar! Lebih baik selama Oma Ratri tinggal di kamar tamu rumah Rahayu, Alika tak usah berkunjung ke sana berlama-lama. Lagian kenapa pula Oma tidak tinggal di rumah keluarga Karin saja, sih?

Alika mendengkus marah. Ia menendang kerikil di pelataran toko bunga miliknya yang buka lebih pagi. Bisa dibilang, Mirna pegawainya yang teramat rajin dan suka membersihkan toko sebelum pelanggan berdatangan.

Merasa ini masih terlalu pagi, Alika sengaja tak memikirkan harus mengenakan pakaian apa. Hanya sebatas sweter cokelat muda dan celana tiga perempat serta rambut tercepol asal. Ia baru akan berniat berganti pakaian di lantai dua Alika Florist.

Sungguh, wanita itu tak ingin membuang banyak waktu di rumah ibunya saat ada Oma Ratri di sana.

"Perawan itu bangun pagi harus dandan yang rapi. Jangan kumel gini, Nduk!"

Mengingat tanggapan Oma Ratri itu Alika mengusap wajah dengan kasar. "Perawan mulu yang dibahas! Lama-lama gue kesel!"

Perempuan itu menggeram sebal sembari memukul daun pintu berbahan kayu dengan telapak tangannya. "Makan tuh perawan!"

Ia hampir menangis. Namun, kegeramannya tertahan begitu Alika menoleh ke dalam ruangan. Mirna yang duduk di belakang meja kasir sambil memegang kemoceng terbengong menatap atasannya. Dadang yang hendak beranjak memindahkan vas besar berisi bunga mawar ke dekat dinding kaca depan kebingungan melihat perilaku aneh Alika dan ....

"Hai ...." Raga melambai sembari tersenyum kaku.

Demi Tuhan! Alika mau pingsan mengetahui laki-laki terakhir itu datang sepagi ini ke tokonya!

**

"Doyan banget beli bunga lo, Ga," seloroh wanita di balik meja berbahan kayu persis di hadapan Raga.

Lelaki yang tengah asyik mengamati gerakan jemari Alika itu bersidekap. Kedua alisnya berkerut. "Elo?"

Pergerakan menyatukan beberapa tangkai tulip merah itu terhenti. Perempuan itu mendadak kikuk. Ia menggigit bibir seraya meletakkan pekerjaannya sejenak demi mengusap tengkuk yang meremang. Bola mata cokelat terang Alika sontak memutar jengah lalu mengerling ke arah Mirna yang sedari tadi berpura-pura sibuk mengelap vas sampai mengilap.

Kurang kerjaan banget Mirna, ih!

Sementara Raga masih menunggu kejelasan mengenai perubahan sapaan seperti semula, Alika berdeham sembari melempar pandangan ke halaman toko.

"Sesuai perjanjian, kan? Jangan bahas soal kita di tempat kerja."

"Aku lagi beli bunga, bukan lagi kerja," sangkal Raga cepat.

Alika menggeram pelan. "Raga, gue tahu lo ngerti kenapa begitu." Gigi perempuan itu bergemeletuk lucu.

Raga menahan senyum. "Kalau itu yang lo mau, oke," sahutnya diiringi helaan menyerah. "Kalau lagi berdua, beda lagi entar?"

"Serah lo!" Sang florist mendengkus tak peduli. Ia kembali fokus dengan buket bunga sedangkan Raga terkekeh pelan.

Hening sampai akhirnya Alika menyelesaikan sebuket cantik rangkaian tulip merah. Tampak manis dengan pita cokelat tua yang mengikat kertas wrap putih bersih. Raga meraih kertas ucapan dalam kotak yang terletak di sisi meja kasir.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang