48. Perkara Dua Garis Merah

4.4K 921 138
                                    

Hai, maaf selow update.

Aku ada kerjaan masuk minggu ini. Mohon bersabar karena maknya RagaLika lagi berjibaku kumpulin receh biar bisa njajan buat teman nulis. 😂

Vote sama komentarnya yang ramai, ya? Biar aku tergoda cepet update meski kudu curi waktu di sela kesibukan. 🤭

Happy reading!

====💐💐💐====

Alika mulai paham bahwa dirinya mulai terjebak kerumitan yang ia buat sendiri pada mulanya. Andai dulu ia tetap menerima uluran tangan Raga untuk pergi bersama, menjauh dari apa-apa yang membuat keduanya sakit, pasti tak akan sepelik ini.

Tama berhak marah. Laki-laki itu punya hak kecewa dengan tindakan yang Alika pilih. Jadi, ketika laki-laki pilihan ayah dan omanya bertindak sekeras itu sampai membanting gerabah ke dinding, Alika memakluminya.

Namun, perempuan yang tengah mampir ke minimarket dekat kompleks perumahan Rahayu dan Pras itu merasa perlu mengakhiri segalanya secepat mungkin. Ia tak mau Tama terluka dan kecewa lebih dalam. Seperti kata ibunya, bertindak ekstrem sebelum perkara dengan Tama terselesaikan hanya akan mempersulit jalan Raga mendapatkan izin dan akses penuh untuk membawa Alika bersamanya.

Alika mengembuskan napas pelan seraya membuka pintu kulkas. Tangan kanannya meraih sekaleng minuman dingin berperisa jeruk. Mulanya, ia hanya berniat membeli minuman dingin. Namun, setibanya di depan kasir, manik cokelat terangnya tertuju pada benda persegi berwarna biru terbungkus plastik rapat.

Perempuan itu mengeratkan cengkeraman pada selempang tas di bahu kiri. Ia menggigit bibir, berpikir keras sembari menunggu petugas kasir memindai barcode dari kaleng minumannya.

"Lima ribu sembilan ratus, Kak. Ada tambahan lain? Pulsa hape atau listrik, Kak?"

Alika tercenung. Ia masih saja menatap gelisah pada benda di etalase tepat balik punggung sang kasir.

"Ada tambahan lain, Kak?" Petugas di balik mesin barcode itu mengulang sembari tetap menjaga senyum. "Kak?"

"E-eh, ya, Mbak. T-testpack-nya ... satu, ya!" pintanya gugup.

"Oh, boleh. Silakan, Kak."

Satu benda persegi berwarna biru dengan balutan plastik bening itu tersodor di atas meja kasir.

Ya, lebih cepat, lebih baik, bukan?

Alika cepat-cepat membayar, mengabaikan kembalian dari selembar uang merah yang ia berikan. "Nggak usah kembali  Mbak. Makasih."

Kaki jenjang berbalut flat shoes itu cepat melangkah ke luar. Meninggalkan petugas yang berjaga sift malam itu kebingungan dan uang kembalian di tangannya hanya terhenti di udara.

Alika merangsekkan belanjaan dalam tas keresek berlogo biru ke dalam sling bag. Ia berlari cepat, berharap segera sampai, lalu berkabar pada laki-laki yang sejak siang tadi berusaha menghubunginya.

**

Raga masih terjaga sampai hampir dini hari di ruang kerjanya. Ia lebih suka tidur di kantor daripada harus menginap di rumah Eko. Terlalu banyak merepotkan sahabatnya itu pun bukan hal baik. Terlebih Eko sudah berumah tangga. Raga tak enak hati bila harus terlalu sering menempati kamar tamu meski Eko dan istrinya tak pernah keberatan.

Kantor itu berupa gedung satu lantai dengan tiga ruang utama. Satu ruangan luas dengan beberapa sekat dan beberapa kubikel tampak temaram. Hanya ada sinar lampu duduk dari meja kerja Raga yang menyorot melalui celah daun pintu sedikit terbuka.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang