26. Dua Perempuan yang Selalu Menunggu

4.5K 905 121
                                    

Halo, selamat malam!

Hari Minggu ke mana? Aku di rumah aja. 😅

Tunai sudah janjiku update Sabtu-Minggu ini, ya. Terima kasih untuk doa dan semangatnya. 🥰

Happy reading! 🥳

Yang mau komen atau vote dulu juga boleh banget. 😍

====💐💐💐====

Langkah jenjang laki-laki berkemeja putih dengan lengan tergulung sampai siku itu tampak gontai. Ia menaiki lift usai memarkirkan mobil di basement apartemennya. Melihat bayangan diri pada dinding lift, lelaki itu mendesah panjang.

Celana jins hitamnya yang kotor, kemejanya yang lusuh, dan rambutnya yang berantakan tertiup angin karena sepanjang perjalanan pulang, Raga sengaha membuka jendela mobil. Adalah gambaran diri yang cukup memberikan presentasi bahwa ia kelelahan. Tapi selelah apa pun raganya, tekaan batin lebih mendominasi diri untuk  saat ini.

Yang Raga lakukan hanya bisa bersabar, menuruti kemauan Oma Ratri. Berharap sedikit demi sedikit perempuan yang berkuasa atas Alika itu mau membuka pintu untuknya. Raga bisa saja menggunakan cara ekstrem dengan berkata, "Oma, saya dan Alika sudah tidur bersama tujuh tahun lalu."

Tapi melihat bagaimana cara perempuan itu menggebu memaparkan lambang kesucian gadis melalui bunga kaca piring kebanggaannya, Raga menahan diri. Oma Ratri memuja bunga itu sepanjang siang ketika Raga dan Alika sibuk menanam bibitnya di halaman belakang Alika Florist.

Dari pemaparannya, Raga bisa melihat Alika tertekan. Oma Ratri baru berhenti membicarakan kesucian perawan virgin ketika cucunya berceletuk, "Oma sampai kapan mau bicarain gadis perawan? Bunga gardenia nggak cuma melambangkan kesucian aja, sih. Ketulusan juga bisa. Laki-laki yang tulus nggak akan memandang masa lalu perempuan yang akan dinikahi."

Mendengar Alika menyerang balik, lagi-lagi wanita tua itu terlihat sentimen, merajuk, dan mengipasi diri dengan kipas lipat seolah sedang kebakaran jenggot.

Sementara Raga hanya bisa diam, terus bekerja menggali tanah, dan menanam bibit gardenia. Sungguh, andai Oma Ratri bukan wanita yang lebih tua darinya dan harus dihormati, Raga sebenarnya ingin juga menyangkal segala petuah-petuah kolot perempuan tua itu.

Dan ketika Oma Ratri pergi menjauh, tapi tetap mengawasi keduanya, Raga berhenti beraktivitas sejenak. Ia melepas sarung tangan, menatap Alika yang mulai berpeluh. Wajah wanita di sisinya itu masih tertekuk menahan kesal. Namun, dari sorot matanya, Raga yakin ada sejuta penyesalan ketika petuah-petuah Oma menyerangnya.

Bagaimanapun, mereka berdua salah. Salah mencicipi manisnya malam penuh desah sebelum waktunya, bahkan di saat usia mereka baru genap 18 tahun. Tanpa memandang apa yang melatarbelakangi mereka melakukan itu, keduanya tetap salah.

Ketika Alika mendongak dan menemukan tatapan Raga, lelaki itu melempar senyum. Senyum yang seolah sedang menyampaikan kalimat, "Iya, kita memang salah. Maaf, ya, nanti kita perbaiki sama-sama. Jangan sedih lagi."

Sedetik setelah tatapan itu usai, Alika menghela napas panjang dan tersenyum.

Bunyi lift yang berdenting menyadarkan lamunan Raga. Ia keluar lalu berjalan melalui lorong-lorong apartemen. Laki-laki itu sempat membenarkan gulungan kemeja di kedua lengan sebelum menekan digit-digit angka pada pintu unitnya.

Namun, begitu ia masuk, aroma masakan yang menguar merasuk indra penciumannya. Bunyi gerabah yang berisik terdengar dari arah pantry. Raga pikir Rosita berkunjung malam ini. Namun, ketika ia berjalan ke arah sumber aroma dan berisik air keran dari pantry, asumsinya terpatahkan.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang