34. Yang Mengalah Sejenak dan Sang Penyelamat

3.3K 814 98
                                    

Hai, apa kabar?

Udah siap lanjut belum nih? Apa masih belum puas menghujat Raga? Mau oleng sama Tama aja? :v

Gosah ngambek, ini cerita masih panjang alias belum juga ending. Jadi, jangan buru-burulah. Mari, santai dulu! :)

Vote sama komentar biar hapeku ramai. Terima kasih. ^_^

Happy reading.

====***====

Tak ada yang bisa Raga lakukan ketika ia menyadari kehadiran Tama. Laki-laki itu datang pada celah waktu yang tepat. Bagaimana mungkin ia tiba-tiba menolak serangan Kei dan keluarganya ketika di depan rekan SMA, Tama mengaku sebagai calon tunangan Alika? Semua pasti akan terlihat sangat menggelikan kalau tiba-tiba Raga melakukan klarifikasi detik itu juga. Ada dua hal yang harus Raga jaga saat itu. Hubungannya dengan Alika dan nama baik dua keluarga. Dua hal yang harus cepat ia pilih dengan pikiran dingin agar tak mencuat perkara baru yang berdampak lebih panjang seperti membawa-bawa nama Alika dalam keributan yang mungkin saja terjadi di depan para tamu.

Situasinya terlalu rumit untuk diperbaiki saat itu juga mengingat Rosita, Hendri, Seto, dan Mala pun menyambut ucapan selamat semua rekan Raga serta Beni. Kei ... menang banyak! Dan pada akhirnya, Raga memilih mengalah dahulu, membiarkan Tama membawa pulang Alika.

"Wah, Mama nggak nyangka kalian diam-diam udah tunangan dulu!" Mala berkata gembira. Dua tangan wanita bersanggul kecil itu mengepal gemas di depan dada. "Ya, kan, Ros?"

Rosita yang sedari tadi terdiam dengan tampang cemas mendongak. "Eh, iya, Mbak." Ia kembali mengaduk-aduk sup krimnya tanpa minat. Ujung mata Rosita sempat bertemu pandang dengan putra kandungnya. Namun, Raga terlihat hanya menghela napas panjang tak kentara.

"Anak muda zaman sekarang maunya mandiri. Nggak mau perkara cinta ada campur tangan orang tua." Mala menambahkan sebelum menjawil dagu putrinya.

"Semoga langgeng sampai pernikahan, ya, Ga. Biar Om Seto nggak bingung lagi urus perusahaan katanya." Beni menambahkan. Ia sempat mengangkat kaleng bir, mengajak Kei yang sedari tadi bergelayut manja di lengan Raga, saling membenturkan minuman.

Perkataan Beni sepertinya terdengar sangat tulus bagi Seto dan Mala. Sebab pasangan itu terlihat tertawa bersamaan, terlihat semringah.

"Apa kalian serius dengan hubungan ini ke depannya?" Hendri bertanya usai menyesap sekali latte dalam cangkir putihnya.

"Iyalah, Om. Kei nggak bisa nolak lamaran Mas Raga kemarin malam."

Lagi-lagi, gadis di sisi Raga itu memamerkan cincin yang entah dari mana rimbanya. Raga memang sempat membeli cincin siang tadi usai mengantarkan pesanan-pesanan bunga bersama Dadang. Tapi bukan cincin bermata berlian putih yang Kei kenakan sekarang. Cincin yang ada dalam saku jasnya adalah cincin emas putih polos sederhana tanpa permata, yang seharusnya, malam ini Raga selipkan ke jari manis Alika.

"Bisa bicara sebentar?" Raga berbisik. Ia menurunkan rangkulan Kei dari lengan kirinya. Laki-laki itu bangkit, berlalu mendahului gadis itu yang mendadak gugup.

Raga keluar dari ruangan khusus bersekat di lantai 2. Acara reuni sudah bubar sejak pukul 10 malam. Di bawah sana, Raga bisa melihat beberapa pengunjung yang masih bertahan untuk sekadar menikmati kopi dan beberapa camilan. Yana masih duduk di balik meja kasir, menggantikan karyawannya yang tengah tergopoh mengantarkan pesanan. Perempuan itu pasti baru mendapat tekanan lagi dari suami bangsatnya.

Tatapan Raga sedikit oleng ketika satu dorongan keras di bahu kanannya terasa.

"Serius, tontonan hari ini seru, Ga," seloroh Beni.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang