36. Merapuh

2.9K 783 101
                                    

Kenapa aku kangen, ya? Padahal baru update kemarin siang! 😆

Hai, apa kabar akhir pekan ini? Akhirnya ketemu Minggu juga besok, ya. Selamat beristirahat.

Oh ya, selamat Hari Guru buat pembaca yang setiap hari harus ekstra sabar menghadapi siswa-siswanya. Semoga sehat selalu, lancar rezeki, dan diberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Aamiin. 🥰🤗

Jangan lupa vote dan komentar yang ramai, ya. Happy reading! 😘

====💐💐💐====


"Oma bilang juga apa? Kamu, sih, ngeyel! Bandel! Sekarang dia pergi to? Ninggalin kamu? Nggak kuat sengsara jadi tukang kebun! Makane lek dikandani wong tuo ki manut! Ngeyel, sih!"

Perempuan tua berbadan subur itu terus mengoceh setiap kali bertemu muka dengan Alika. Hal yang dibicarakan masih saja sama meski dua hari berlalu. Yang perlu Alika lakukan tiap Oma Ratri menyalahkannya hanyalah diam. Dengarkan saja pakai telinga kanan, keluarkan lewat telinga kiri. Tidak usah diambil hati. Pura-pura tuli saja sekalian, biar ia bisa bertahan kembali tinggal bersama Rahayu.

Ya, mereka memilih pisah. Sejak berpisah lagi dengan Raga, Alika memilih pulang. Segala keperluan toko ia serahkan ke Mirna dan Dadang. Sebab semakin sering Alika bertahan di Alika Florist, apa-apa di kebun yang pernah Raga kerjakan terlalu sakit untuk dikenang. Belum lagi, laki-laki itu pergi tanpa membawa apa pun yang tertinggal di lantai dua kamar Alika. Ada beberapa potong kaus dan kemeja di gantungan lemari. Mau dibuang sayang, mau dikembalikan, Alika masih canggung kalau harus berkomunikasi lagi. Mungkin nanti biar ia minta Dadang memulangkannya ke apartemen Raga, bukan sekarang.

"Apa, sih, Oma? Pagi-pagi begini, kok, udah cerewet aja." Suara Pras yang baru saja bergabung di pantry menghentikan aksi mengoceh Oma Ratri. Pria paruh baya itu duduk pada stool bar yang berseberangan dengan putrinya, menanti Rahayu yang tengah menyeduh kopi dan memanggang roti.

"Iki, lho, anak wedokmu, Pras! Tama bilang Alika ditinggal Raga tunangan sama perempuan lain! Kurang ajar to?!" Oma Ratri makin berapi-api. Pipi gembilnya merah padam. Ia bahkan menggigit asal kue lapis buatan menantunya.

"Ingat gigi palsu, Oma. Entar lepas kalau makan sembarangan." Alika tersenyum penuh sindiran. Ia mengaduk asal minuman sereal buatannya sendiri.

Mendengar sindirian itu, Oma Ratri memelotot garang. "Ra sopan arek prawan iki!"

Pras hanya tersenyum tipis. "Malah bagus, Oma. Biar Alika lebih cepat menentukan pilihan. Tama kayaknya udah siap kalau harus melamar."

"Papa ...." Rahayu memperingatkan dengan suara lembut penuh tekanan. Ia menggeser secangkir kopi, lalu cekatan memindahkan roti panggang berlumur mentega ke  piring kosong.

Sementara itu, Alika yang mendengar pernyataan ayahnya hanya mengangguk-angguk pelan dengan tatapan kosong. "Lakukan apa yang Papa dan Oma mau. Alika bakal turutin," desahnya pasrah. Namun, alih-alih terdengar pasrah, justru keputusasaan mendominasi dirinya. Ia tak kuasa lagi bergerak sesuka hati. Seperti semua harapan itu berhamburan pergi, menjauh, dan sulit kembali diraih.

Adapun keputusannya menurut, sebenarnya sedang menunjukkan bahwa ia tak bersemangat lagi mencari kebahagian untuk dirinya sendiri. Bukankah sejak dulu sudah biasa begini? Papa dan Oma. Perpaduan pas yang menyetir segala konsep laki-laki mana yang pantas untuknya.

Lagi pula, apa yang diharapkan dari dirinya soal pendamping masa depan? Alika sudah tak mampu menatap masa depan. Seperti sedang menelan buah simalakama. Memutuskan sendiri, disangka tak becus cari jodoh dan status perawan tua membayang. Mau mencari pasangan baru, takut ditinggal pergi ketika tahu ia tak lagi perawan. Kembali pada Raga, tak dapat restu. Siapa pula yang akan mengawinkannya di meja akad kalau sang wali--ayah kandungnya--saja tak merestui?

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang