9. Pagi yang Terlalu Meresahkan

6.5K 1.1K 65
                                    

Semalaman tak bisa tidur membuat sang pemilik apartemen bangun kesiangan. Ia mengacak rambut berantakannya sembari menuju ke arah pantry. Raga sedang tak ingin makan makanan berat. Secangkir kopi rasanya cukup membuat kantuk menghilang.

Laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dan kaus tipis itu menyesap beberapa kali minuman hitam pekatnya. Namun, suara pintu terbuka bersamaan dengan nada 'bib' sekali membuatnya mendesah malas.

"Wew, tumben baru bangun! Ada klien ngajak ribut, Ga?"

Arya masuk, meletakkan paper bag di meja bar. Tanpa permisi, ia sudah terbiasa mengeksploitasi apartemen Raga. Minum kopi, sarapan tanpa repot mencuci bekas sarapan, dan membuat berantakan dapur layaknya kapal pecah sudah biasa.

Raga mendengkus dan membuang muka ke arah jendela di sisi dapur. "Nyesel gue kasih tahu pasword apartemen! Nggak bisa tenang gini kalau lagi pengen sendiri!"

Pemilik apartemen dua kamar itu meninggalkan pantry, memilih duduk malas berselonjor di ruang santai sembari membawa cangkir kopinya.

"Ck, kenapa emang? Untung juga gue sering masak di sini. Lo bisa sarapan gratis." Arya mengeluarkan sekotak roti sandwich isi daging ayam, selada, dan potongan timun serta tomat merah.

"Kayak lo tahu rasa tanggung jawab aja kalau abis kelar masak." Raga melirik sekilas. Ia meraih remot televisi, menyalakannya tanpa minat.

Arya menyusul duduk di sofa leter L di mana sahabatnya duduk. Ia membawa sandwich yang sudah di tata di atas piring. "Tenang, nggak masak gue hari ini. Nih, nyokap gue bawain ini buat kita. Katanya, sih, beli di toko bakery punya mamanya Alika."

Mendengar nama perempuan itu disebut, Raga mendesah panjang. Ia menatap langit-langit apartemen. Terdiam untuk beberapa saat sebelum ide gila itu terlintas di kepalanya. "Menurut lo, kedengeran absurd nggak,  semisal gue ngelamar Alika hari ini juga?"

Kopi hangat yang baru disesap Arya tersembur. Bukan hanya mengotori kemeja kerjanya, tapi sebagian muncrat ke atas meja kayu dekat sofa. Cowok yang hampir menuntaskan masa lajangnya itu bahkan terbatuk hebat setelahnya.

Raga memejam seraya berdecak pelan. Ia meraih sekotak tisu, melemparnya ke arah Arya yang berdeham-deham meredakan batuk. "Gue cuma tanya kenapa lo reaksinya lebay gitu, sih?!"

Arya menarik berlembar-lembar tisu, membersihkan sudut bibir dan kemejanya. "Sumpah, lo emang jadi aneh sejak punya rencana nemuin cinta pertama lo sampai dibela-belain buka cabang WO di Jakarta segala."

Raga hanya melirik melalui ujung mata lalu meraih cangkir kopinya lagi.

"Nih, ya, gue pikir lo cuma sekadar mau ketemu buat menjalin silaturahmi, dan menyelesaikan masalah yang gue sendiri nggak ngerti masalah kalian berdua apaan. Tapi lo juga nggak boleh kebablasan gini. Ingat, kondisi udah jauh berbeda. Paham, kan, lo maksud gue apaan?"

Raga mendesah lesu. Ia kembali teringat Tama. Apa benar kalau Alika ada hubungan khusus dengan pria itu?

Pikiran Raga kembali kusut, sementara Arya terus mendadak jadi laki-laki bawel. Seperti ibunya saja kalau sedang memaksa Raga untuk segera makan. Kalau sudah seperti ini, ia mendadak jadi ingin menaikkan volume suara televisi.

**

"Dicoba dulu aja. Siapa tahu jodoh. Oma, sih, cocok sama Tama. Orangnya baik, sopan, tampan, dan udah mapan. Dia itu cucunya teman Oma. Kakeknya punya jabatan jenderal." Oma Ratri membenarkan letak kacamata plusnya sebelum menyesap teh hijau di meja makan.

Lagi-lagi perjodohan. Entah sudah berapa pria yang Oma datangkan ke rumah. Bahkan terkadang ribet sendiri menyusun rencana pertemuan sampai membuka jamuan makan malam.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang