14. Hamburan Harapan di Padang Dandelions

5.2K 978 69
                                    

Diperlakukan semena-mena oleh saudara tirinya sudah menjadi hal biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Diperlakukan semena-mena oleh saudara tirinya sudah menjadi hal biasa. Raga tak pernah mempermasalahkan hal itu. Apalagi hanya sekadar ditinggal berangkat ke sekolah duluan. Lagi pula, berjalan kaki ke depan melalui jalanan kompleks perumahan elit yang ditumbuhi pohon-pohon palem di sisi kanan dan kiri. Lalu jajaran bunga amarilis merah dan putih yang bergerombol cantik pada pot-pot di bahu jalan yang basah karena embun pagi. Semua pemandangan itu mengingatkannya pada Alika.

Setidaknya, dengan sering berjalan kaki dan berkelana ke mana pun kaki melangkah, terkadang ia malah menemukan banyak topik pembicaraan. Topik yang mungkin bisa dijadikan alasan agar bisa berlama-lama dengan gadis bermata cokelat terang itu. Mata yang bisa melebar takjub dengan pupil mengecil karena binar gembira ketika Raga hanya mengatakan, "Gue nemu tempat bagus yang banyak bunganya."

Seperti pagi kala itu, ketika Beni dengan sengaja meminta sopir mereka meninggalkan Raga yang tengah menghabiskan sarapan.

"Lelet, sih, tinggal ajalah! Jalan kaki lo!"

Sebuah gertakan dari Beni yang hanya disambut dengan kedikan bahu tak peduli. Rosita dan Hendri tak di rumah, pada saat itulah Beni merasa berhak bersikap semena-mena. Sebuah tekanan yang percuma karena Raga justru bersorak gembira. Cowok itu kehabisan topik menarik untuk dijadikan obrolan yang bisa menghibur gadis itu. Saat itulah Raga butuh pencerahan, butuh ilham, dan ia butuh berjalan-jalan. Bolos di jam pertama karena berjalan sedikit lambat sepertinya bukan hal haram yang harus dihindari.

Setahunya, Bu Ani, guru bahasa Indonesia di kelasnya itu wanita pemaaf yang dengan mudah melupakan kenakalan setiap siswa. Apalagi hanya bolos sekali dua kali. Pasti dimaafkan!

Tentang amarilis yang katanya berasal dari darah peri Amaryllis yang jatuh cinta pada gembala tampan bernama Alteo sudah pernah ia ceritakan. Mawar sepertinya sudah terlalu biasa sebab Alika pecinta bunga berduri itu. Lalu, bunga apalagi yang menarik?

Raga menghela napas panjang, otaknya berpikir keras. Buku-buku tentang bunga milik sang ibu sudah ia babat habis dibaca seminggu penuh kala itu. Belum ada yang menarik. Kaki jenjang Raga berhenti di halte, membiarkan dirinya terbawa angkutan umum sembari menelisik jalanan melalui jendela. Kendaraan umum itu berjalan melambat ketika melewati tanjakan jembatan layang. Sampai pada akhirnya, iris hitam Raga menemukan hamparan tanah kosong di kejauhan. Tanah yang ditumbuhi semak dan bunga dandelion yang bermekaran. Tema hari ini ... Dandelion!

**

Raga tak jadi datang terlambat di jam pertama. Ia duduk di bangku deretan keempat, tepat di belakang Eko, siswa berotak cerdas, juara paralel selama hampir tiga tahun ini. Sosoknya memang terkesan cupu dengan kacamata tebal super lebar dan pakaiannya yang selalu klimis. Berbeda dengan umumnya siswa cowok lain yang mendadak kemejanya berantakan karena banyak gaya.

Sekretaris kelas masih sibuk menulis di papan tulis untuk disalin semua siswa sementara Bu Ani duduk tenang di singgasananya. Melihat semua tampak tenang sambil sesekali ada yang sempat-sempatnya mengobrol dengan suara super pelan, Raga menyobek ujung buku tulis, meremas menjadi gulungan tak beraturan, lalu dilempar tepat mengenai Eko.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang