27. Datanglah, Meski Terlambat

3.5K 898 101
                                    

Halo, apa kabar? 🥰

Semoga kalian sehat selalu, ya. Aamiin.

Maafkan baru update lagi setelah sekian lama.

Happy reading! 😍

Minta vote dan komentar dulu, boleh? 🤗


====💐💐💐====


Perempuan yang tengah duduk di kursi berpayung warna-warni depan minimarket itu tertegun. Manik cokelat terangnya menatap flatshoes yang menapak di atas paving blok. Dadanya masih sesekali bergemuruh menahan letupan emosi yang setengah jam lalu sempat meledak.

Bukan tanpa alasan ia bertindak seemosional itu sampai membuat sang oma sempat pucat pasi sambil memegangi dadanya.

Alika tak tahan. Selama ini ia sudah cukup menahan diri meski kerap tahu Oma Ratri sering menekan dirinya dan Rahayu. Ia bisa saja terima kalau cukup dirinya saja yang ditekan, tapi ibunya jangan sampai. Alika jelas tak terima dan marah.

"Mbok cepat menikah, nyusul Karin sama Arya.  Jangan pacaran melulu di toko bungamu itu. Entar kayak mamamu itu, kebobolan terus ditinggal pergi pacarnya. Untung keguguran, kalau ndak, kasihan Pras harus terbebani anak haram."

Kalimat itu terlontar dengan gaya santai khas Oma yang penuh sindiran dan tatapan sinis.

"Oma!" Spontan sapaan dari bibir berpulas lipstik warna nude Alika terdengar bak bentakan keras.

Baik Karin dan Arya ikut tersentak. Teh yang hampir disesap suami Karin bahkan hampir terlepas lalu tumpahannya mengenai celana yang dikenakan.

Rahayu yang sudah biasa dengan segala tekanan Oma sigap merengkuh sebelah lengan putrinya. "Alika," bisiknya memperingatkan.

"Nggak sepantasnya Oma mengatakan itu di depan keluarga. Mama itu menantu Oma, perempuan yang dipilih Papa--anak Oma--sebagai istri." Tak mau dengar peringatan Rahayu, Alika mengepalkan dua tangan di atas meja, menatap sengit pada perempuan tua yang kini wajahnya memucat karena bentakan cucunya.

"Alika ...." Lagi. Rahayu kini mencengkeram lengan Alika, berusaha mengajak untuk bangkit, dan beranjak dari ruang keluarga.

"Oma bilang fakta, kok!" Oma Ratri sempat tak mau kalah. "Ibumu ini pernah jadi perempuan nggak bener! Kamu jangan sampai meniru! Dikandani wong tua, kok, ngelawan!"

"Alika nggak terima Oma bersikap seperti ini sama Mama! Jangan cuma karena Alika bertahan sama Raga, Oma sengaja menekan Alika dengan cara memojokkan Mama!"

"Oh, kamu mau bertahan sama tukang kebunmu itu? Mau jadi apa kamu kalau dinikahin sama anaknya mantan napi, hah?! Paling ditidurin thok terus ditinggal pergi jauh! Sama kayak mamamu itu!"

Perempuan tua berdaster batik itu bangkit dengan wajah garang, tapi melihat kemarahan dan cara cucunya melawan jelas membuat Oma Ratri terlihat pucat. Napasnya bahkan terlihat terengah, seperti baru saja mendapat pukulan telak ke dada karena sakit hati.

Karin dan Arya sigap ikut bangkit, memegangi dua lengan wanita subur itu agar tak limbung.

"Oma, ingat tekanan darah Oma. Yang tenang, ya, sabar." Karin mengelus-elus dada Oma Ratri, sementara Arya mengusap punggungnya.

"Raga bukan orang yang seperti itu! Dia pasti kembali! Memangnya kenapa kalau Alika sama Raga udah--ahh!" Alika memutus kalimatnya, berganti rintihan menahan panas dan perih di pinggang.

Rahayu melayangkan cubitan keras. "Ikut Mama! Ayo, masuk ke kamar!" Ia menyeret Alika sedikit keras, membawa putrinya ke kamar di lantai dua.

Mulanya Alika berontak, tapi Rahayu tak mau kalah. Ia terus menyerat ke kamar lalu menutup pintu dan menguncinya. Perempuan itu sempat memejam sejenak, menarik napas dalam sebelum berbalik memandangi anak gadis yang masih terengah menahan emosi.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang